Mohon tunggu...
M.Mu'azzin Fauzi
M.Mu'azzin Fauzi Mohon Tunggu... -

pensil yang pendek lebih berharga dari ingatan yang panjang

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tafsir Lain “Tohokan” Balik Aksi Politik Aceng

28 April 2014   18:38 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:06 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melenggangnya langkah politik Aceng ke senayan mencengangkan banyak pihak. Tak ayal tafsiran pilitis atas langkah politik -korban pemakzulan politis mantan Bupati Garut ini-menarik minat para pemerhati sosial-politik untuk dibincangkan. Guratan keheranan alias kecewa banyak pihak atas realitas politik ini tak bisa dikesampingkan, manakala Aceng-korban pemakzulan politis-mampu melenggang menembus batas gulita dan buram karier politik yang membelenggunya atas pelanggaran kasus etika yang telah dilakukan. Fakta politik Aceng meng”ilhami” sederet tanya bernuansa apatisme publik atas wajah politik di Indonesia sekaligus pembenaran atas labelisasi “Indonesia negara setengah demokrasi”. Paradoks realitas politik Indonesia di tengah munculnya ekspektasi publik kerap diterpa badai yang berpotensi meluluhlantahkan pancangan bangunan sistem politik berdemokrsi di negeri ini.
Boleh saja lembaga legislatif memanfaatkan beberapa hak istimewa yang dilekatkan atasnya untuk memboikot karir politik Aceng lewat keputusan politik yakni pemakzulannya sebagai orang nomer satu di Garut. Tapi, kenyataannya pemakzulan bukanlah pendekatan penghukuman yang mujarab untuk “mengamputasi” karir politik Aceng sebagai representasi kerinduan publik Garut atas sosoknya. Suka tidak suka Aceng masih punya simpati dan posisi di hati publik. Kasak kusuk pelanggaran etik Aceng yang bermuara pada pemakzulan dewan memunculkan ragam tafsiran kritis publik. Lebih santer lagi akhir-akhir ini dengan keterpilihannya menjadi DPD mewakili propinsi Jawa Barat. Dewan silahkan melangkah dan memainkan peranan substansialnya sebagai wadah menampung aspirasi publik, kemudian meramunya menjadi polecy yang berpotensi diekskusi (berujung upaya pemakzulan) untuk alasan kepentingan terbaik publik. Tetapi publik memiliki logikanya sendiri dalam menafsirkan aksi politik pemakzulan atas Aceng.
Logika keputusan politik DPRD Garut seolah berjalan dengan sendirinya tanpa berimpilkasi signifikan mempengaruhi cara pandang politik publik atas Aceng. Kalau melihat fakta ini bisa diasumsikan, wibawa keputusan lembaga legislatif tak bisa dipertaruhkan di mata publik alias lembaga legislatif tidak memiliki marwah yang patut diteladani. Yang seharusnya berbanding lurus, berkorelasi dan berposisi strategis dalam rangka memgkonstruksi paradigma politik publik. Apatismekah publik atas eksisitensi lembaga legislatif sebagai representasi kondisi politik di republiki? Sangat boleh jadi distrust publik pada lembaga politik (DPRD Garut) berada pada titik nadir di mata publik. Ternyata publik memiliki cara, nalar dan logikanya sendiri yang diyakininya sebagai upaya efektif dan strategis dalam merepresentasikan kekecewaannya tentang iklim politik pada ruang-waktu tertentu.
Sekali waktu publik mengajari kita berpolitik dengan cara “menghajar” atmosfir konstelasi politik yang mencengangkan. Dominasi dan Hegemonistiknya lembaga politik formil yang mengecewakan ekspektasi publik mengharuskannya mengkonstruksi sebuah strategi dan memformulasinya menjadi gerakan perlawanan yang efektif. Yang tujuannya hanya satu agar ini menjadi momentum pembelajaran reflektif para pihak (terutama lembaga politik dan pejabat publik) dalam mengintrospeksi diri agar tidak lupa tupoksi strategisnya sebagai lembaga publik yang amanah, sensitif dalam memperjuangkan kepentingan publik, mumpuni dalam memproduk polecy (kebijakan) untuk kemaslahatan kehidupan berbangsa dan bernegara. Jangan lagi gemar memamerkan arogansi kekuasaan dengan ragam modusnya berkedok kemasan service hanya untuk pelayanan publik, yang sejatinya tak lebih dari lifs service semata demi untuk kepentingan pribadi, keluarga dan friksi kelompok dan golongannya semata, tidak lebih.
Ada beberapa hal penting dan krusial yang harus direformulasi segera mengenai tata sistem perpolitikan di Indonesia, manakala melihat realitas hadirnya kembali Aceng melenggang bebas dalam konstelasi politik praktis. Harus dirumuskan segera regulasi yang memposisikan korban pemakzulan politik untuk tidak boleh terlibat dalam percaturan politik dalam konteks jabatan politis di semua stratum. Hal ini penting diformulasi untuk menghormati sangsi politis pemakzulan -yang hakikatnya telah mencederai asas kepatutan kehidupan berbangsa dan bernegara-yang telah diputuskan oleh lembaga resmi negara. Mengembalikan marwah lembaga legislatif adalah penting dilakukan melalui pengaturan-pengaturan yang tegas dalam kancah peta perpolitikan negara kita.
Mengeliminasi dan memproteksi kandidat pejabat negara bermasalah melalui instrumen kelembagaan (KPU dan Partai Politik) adalah keharusan tanpa reserve yang notabene sebagai kanal awal strategis rekruitmen putera-putera terbaik yang berintegritas, yang tidak memiliki cacat moral adalah bagian dari indikator prinsipal substansial dan pengaturannya harus tegas dalam regulasi (polecy). Tiga instrumen strategis (Partai Politik, KPU, Publik) dengan domainnya masing-masing harus bersinergi dan berposisi pada level kualitas yang setara untuk tujuan melahirkan pemimpin berbobot.
Wajah politik bermartabat di negara ini tidak boleh menjadi barang langka dan mahal. Tentu tidak mudah mewujudkanya. Tetapi apa lacur semua elemen negara ini merapatkan barisan, mendesain bangunan konsolidasi gerakan politik berbasis perjuangan bukan sekedar arena mengekspresikan hasrat meraup kekuasaan untuk tujuan pragmatisme jangka pendek. Tantangan dan hambatan menghadang itu pasti. Keteladanan kultural berpolitik di negeri ini harus terus menerus dikampanyekan secara konsisten dalam arena momentum politik praktis. Disinilah peran sentral pejabat negara dan aparatusnya dari pusat sampai daerah untuk menterjemahkan nilai demokrasi dalam keteladanan sehari-hari di sela pekerjaan pelayanan publiknya pun di tengah masyarakat dimana ruang berinteraksinya dalam keseharian.
Kembali ke persoalan Aceng-mantan Bupati Garut yang termakzulkan beberapa waktu lalu-yang mampu melenggang manis ke senayan sebagai sosok yang dipercaya publik (terlepas dari ada kelompok yang tidak suka) mengemban amanat untuk menjawab persoalan masyarakat Jawa Barat. Pertanyaannya kemudian adalah sebegitu permisifnyakah masyarakat dengan perilaku pelanggaran etika pejabat publik? Ataukah kesantunan publik yang kental dengan tradisi ketimurannya, membuka ruang ma’af atas kekeliruan tindakan pejabat publik? Ataukah lembaga legislatif dengan “fatwa” politiknya-yang kental dengan arogansi perilaku anggotanya yang mengecewakan ekspektasi publik- tidak bermarwah lagi untuk didengar dan diteladani publik sebagai entitas logis penataan kondisi negara ini ke arah yang lebih baik? Jawabnya ada di masing-masing diri kita.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun