Pernyataan "surga di telapak kaki ibu" amat dikenal setiap orang. Banyak dari kita mengartikan pernyataan itu dengan beragam pemahaman, meski yang dimaksudkan adalah sama. Pada umumnya kita mengartikan bahwa ibu merupakan sosok yang paling utama harus dihargai dan dihormati sebelum sorang anak menghormati sosok bapak. Sosok ibu adalah penentu keberhasilan dan kebahagiaan anak di masa depan. Oleh karena itu, berhasil tidaknya kehidupan seorang anak sangat dipengaruhi oleh sikap dalam memperlakukan sosok ibunya. Istilah anak durhaka identik dengan perlakuan buruk anak terhadap ibunya. Kemunculan cerita rakyat Malin Kundang dan Batu Menangis merupakan representasi dari ajaran moral-sosial agar seorang anak tidak memberi perlakuan buruk atau menyakiti hati seorang ibu.
Perihal anak yang harus memperlakukan sosok ibu dengan baik, jelas tidak ada satu pun dari kita yang membantahnya atau menolaknya. Menurut Lembaga Fatwa Mesir Dar al-Ifta (republika.co.id), pernyataan  "surga di telapak kaki ibu" secara sahih (yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya) bersumber dari hadits "al-jannatu tahta aqdam al-ummahat" yang diriwayatkan Imam Ahmad, an-Nasai Ibnu majah, at-Thabrani yang dikuatkan oleh Imam al-Hakim serta ad-Dzahabi. Hadits ini berasal dari jalur Muawiyah bin Jahimah, yang pada suatu ketika ia mendatangi Nabi. Wahai Rasulullah. Redaksinya berbunyi, "Aku hendak berperan, namun aku datang untuk berkonsultasi". Rasul bertanya, "Apakah kamu memiliki ibu?" Sahabat yang berkata tadi menjawab bahwa ia mempunyai ibu. Rasul pun bersabda, "Berbaktilah kepadanya karena surga itu di bawah kakinya (fainnal jannata tahta rijliha)." Makna hadits tersebut adalah kepatuhan karena patuh kepada ibu merupakan faktor penyebab seseorang masuk surga.
Perkataan Nabi jelas harus dipahami sebagai makna lain, bahwa kata-kata "di bawah kakinya" berarti berada di bawah kepatuhan ibu. Apabila kita sering melihat ada seorang anak yang bersujud untuk mencium telapak kaki ibunya, tidak kemudian secara awam dipahami karena di bawah kaki ibunya terletak surga. Pemahaman awam semacam ini seakan-akan juga muncul ketika kita membaca sebuah puisi berjudul "Surga" yang ditulis Cynthia Hariadi. Beriku saya kutipkan isi puisinya.
SURGA
Anakku perempuan
dengarlah Ibu
tidak ada surga di telapak kakiku
juga di telapak kakimu
surga tidak hidup di telapak kaki siapa pun
apalagi manusia
kularang kau