Puisi juga terdapat dalam bahasa rakyat sehari-hari, kejadian sehari-hari, dan emosi sehari-hari.
    Pada suatu hari, di Yogya, saya mendengar seorang penarik becak menyanyikan antun-pantun ludruk dengan bahasa Jawa yang sederhana, tetapi saya dapat merasa ada puisi di dalamnya.
    Sejak saat itu saya ingin bereksperimen sampai seberapa jauh bahasa sehari-hari dapat mendukung pengucapan jiwa dan pikiran yang puitis. Berikut ini adalah hasil dari eksperimen itu.
    Isi atau subjek kedua puluh dua ungkapan di bawah ini adalah tentang percintaan. Inilah eksperimen sampai di mana kemampuan bahasa sehari-hari yang sederhana itu dapat mengungkapkan hal yang paling romantis dan puitis di dalam kehidupan.
Â
Kutipan di awal catatan ini berasal dari mukadimah atau pengantar yang ditulis penyair W.S. Rendra untuk puisi-puisinya -yang ia sebut sebagai puisi eksperimen- dan dimuat dalam majalah Gadjah Mada pada bulan Desember 1958. Mukadimah dan beberapa puisinya itu kemudian diterbitkan kembali -bersama puisi-puisi yang lain- dalam buku Puisi-puisi Cinta W.S. Rendra (Penerbit Bentang, 2015). Saya amat terkagun-kagum dengan isi mukadimah Rendra bukan semata karena ia menghadirkan tema cinta. Akan tetapi, saya justru tergoda pada pernyataan-pernyataannya yang tampak sederhana. Baca lah dan cermati lah beberapa bagian baris kalimat Rendra yang amat menarik untuk kita bicarakan: Â "Puisi juga terdapat dalam bahasa rakyat sehari-hari, kejadian sehari-hari, dan emosi sehari-hari" ; Â "... bahasa sehari-hari dapat mendukung pengucapan jiwa dan pikiran yang puitis." dan "bahasa sehari-hari yang sederhana itu dapat mengungkapkan hal yang paling romantis dan puitis di dalam kehidupan."
Tiga pernyataan yang disampaikan oleh W.S. Rendra itu mengandung dua kata kunci yang dapat kita gunakan untuk membuka pembicaraan ini. Pertama adalah "bahasa sehari-hari" atau W.S. Rendra juga menyebut dengan isitilah "bahasa rakyat". Oleh Rendra, bahasa sehari-hari itu dihubungkan dengan kejadian dan emosi yang sehari-hari. Kedua adalah kata kunci "pikiran yang puitis". Apakah bahasa sehari-hari yang digunakan dalam puisi dapat menimbulkan pikiran yang puitis? Untuk kepentingan pembicaraan ini saya akan mengutip beberapa puisi Rendra yang disertakan dalam mukadimahnya.
BAJU
Amat sayang mencuci bajuku
karena telah melekat
air mata kekasihku