Mohon tunggu...
Muarif Essage
Muarif Essage Mohon Tunggu... Guru - pembaca sastra

lahir di Tegal, 25 Mei 1969. Seorang guru, ia lebih sering membaca karya sastra dan membicarakannya dalam bentuk ulasan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Aku Berusaha Mengetuk Pintu, Berharap Kau Menemuiku

1 Februari 2022   18:26 Diperbarui: 1 Februari 2022   18:31 473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membaca puisi-puisi Sapardi Djoko Damono, aku tidak bisa hanya mengandalkan mata untuk mengawasi setiap kata yang terbaca. Juga tidak hanya pikiranku untuk menduga-duga, walaupun pada hakikatnya aku sedang menduga-duga. 

Aku harus berulang-ulang membacanya dari yang pertama hingga entah yang keberapa. Aku juga harus membawa puisi-pusi itu kemana pun aku berpindah tempat, dari meja kerjaku, ke teras rumah lalu masuk ke ruang tamu, hingga aku berbaring di kamar lalu kunyalakan lampu agar lebih terang setiap kata puisi Sapardi dapat kutandai. 

Dari kebiasanku ini, tepat di saat kubaringkan tubuh bersama buku "Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro?", pikiranku tertuju pada dua puisi. Aku berusaha mengetuk pintunya dan berharap kedua puisi itu menemuiki.

Pertemuan Pertama: Tiga Model untuk Sebuah Komunikasi

Beruntung aku bisa menemui "Tiga Percakapan Telepon", namun apakah aku juga beruntung dapat memaknai kehadiran kalian? Seperti namamu, mereka bertiga. Mereka tanpa nama, hanya nomor sebagai penanda. Aku mengetuk puisi yang pertama:

/1/

"Jadi kau tak akan kembali?

Kenapa tidak dulu-dulu bilang

bahwa kau ....?"

"Aku capek."

"akan meninggalkannku,

karena aku tak mampu

memberimu ...."

"Aku bosan."

"anak. Jadi kau tak akan

kembali? Rumah kita

akan menjelma ...."

"Aku kecewa."

"kuburan. Kau akan kutanam

di sudut selatan

pekarangan ...."

"Aku benci."

"di tempat kita biasanya

menguburkan tikus

yang habis ...."

"Aku ...."

"dimakan kucing

kesayanganmu."

Dalam dirimu ada ada percakapan telepon sepasang suami istri. Sang istri rupanya hendak meninggalkan suaminya dengan alasan yang sesungguhnya belum jelas benar. 

Mengapa Sang istri capek? Apa yang menyebabkan ia bosan, kecewa, dan benci? Apakah semua itu karena suaminya? Mungkin saja sang istri capek menghadapi perlakuan suaminya lalu merasa bosan, kecewa, dan benci kepadanya. Bila memang begitu, aku belum tahu apa yang telah diperbuat sang suami. Apakah karena sang suami yang belum juga memberinya keturunan? Segalanya belum jelas saat aku membacanya. 

Meski begitu, aku merasakan ada komunikasi yang berada dalam ruangnya sendiri-sendiri. Sang suami begitu yakin, bahwa alasan sang istri pergi meninggalkannya karena tak mampu memberinya anak.

Sungguh mengerikan respon yang akan diberikan sang suami bila sang isitri benar-benar pergi, sang suami bertekad menjadikan "Rumah kita akan menjelma kuburan". 

Apa maksudnya? "Kau akan kutanam di sudut selatan pekarangan/di tempat kita biasanya menguburkan tikus yang tak habis/dimakan kucing kesayanganmu." Ia akan membunuh istrinya, pikirku.

Apa yang dirasakan sang istri dengan perkataannya yang pendek-pendek, bisa jadi bermuara pada problem tak memiliki keturunan. Sang istri tidak berani melanjutkan perkataannya saat sang suami mengutarakan ancamannya. 

Namun komunikasi keduanya sesungguhnya belum terang benar, sehingga tak menemukan solusi bagi keduanya. Atau memang dalam puisi itu tidak perlu menghadirkan solusi karena pembacalah yang harus ikut menyelesaikannya sendiri. 

Situasi komunikasi yang serba belum pasti ini, aku rasakan juga ketika puisi dengan penanda nomor dua tiba-tiba saja ikut menemuiku, katanya:

/2/

"Suaramu tak begitu jelas!"

(Deru sepeda motor,

suara kereta listrik

orang-orang ....)

"Di mana kau?"

(mobil yang knalpotnya dicopot,

teriak tukang roti,

anak-anak ribut ...)

"Pakai telpon umum, ya?"

(seperti isak tangis,

seperti tetesan air

dari atas yang bocor ....)

"Kau mau bilang apa?"

(seperti lolong anjing

yang sepanjang malam

terbawa angin)

"Kau main-main, ya?"

(seperti suara kucing

yang terlindas mobil

ketika meneberang jalan)

"Suaramu tak begitu jelas!"

Ini tentu komunikasi yang amat menjengkelkan. Tak ada yang bisa didengar apalagi dipahami maksudnya karena suara di seberang sana tidak menyertakan kata-kata. Hanya ada suara-suara lain dan itu amat menggangu keberlangsungan komunikasi. Aku berpikr seperti itu. 

Namun, terlintas juga dalam pikiranku, seseorang yang di seberang sana memang tidak ingin berkata-kata atau tidak bisa berkata-kata karena suara-suara di sekitarnya mengganggunya untuk bicara, atau memang benar berkata-kata hanya saja suara tidak jelas terdengar, sebagaimana baris terakhir yang berbunyi "Suaramu tak begitu jelas!" Komunikasi dalam telepon memang menyajikan dunia serba mungkin yang membuat kita tidak dapat mengetahuinya dengan pasti apa yang sesungguhnya terjadi.

Tiba-tiba kamu yang lain lagi datang: puisi yang ketiga. Aku merasa sedikit lega. Aku mendengar ada percakapan bermakna antara "aku" dengan Narti. Seperti ini mereka berkata-kata melalui telepon:

/3/

"Ya, lantas?"

"Ya, dibawa polisi. Itu lho,

waktu ada bakar-bakaran."

"Oke, lantas?"

"Kau tahu, Amin kerja di restoran

yang dibakar orang kampung

ia membawa pulang beberapa panic."

"Lantas?"

"Ya itu, ia dijemput polisi.

Katanya ikut njarah."

"Lantas, kenapa nelpon?"

"Ya itu, adiknya bunting.

Tidak mau ngaku siapa.

Kepala sekolah bilang,

Bu, gadis hamil tidak pantas

mengikuti pelajaran. Maaf, anak ibu

pindah sekolah saja -

kalau ada yang mau menerima.

Begitu katanya.

Ya, Wati sekarang di rumah,

tak sekolah."

"Tapi, untuk apa kau nelpon?"

"Ya itu, suamiku kena phk.
Taukenya lari menyelamatkan diri.

Katanya, di sini kagak aman,

usaha di tempat lain saja."

"Memangnya kenapa?"

"Ya bagaimana?"

Apa yang harus  ku-&^#*(0&z8%)?"

"Apa?"

"*&z^*%2-5=!"

"Halo! Narti! Halo!

Apa yang bisa kukerjakan

untuk menolongmu?"

"&*%$*&*klk!"

"Halo! Halo! Jangan!

Pada awal aku mendengar percakapan mereka, aku ingin tertawa. Aku merasa lucu juga, bisa-bisanya melalui telepon orang bisa bicara apa saja semaunya, termasuk untuk bergosip. Bisa saja lawan bicara meresponnya untuk ikut terlibat dalam percakapan yang didengarnya. 

Namun, tentu amat mungkin terjadi seseorang tak peduli sehingga cukup menjawab seperlunya yang lama-kelamaan bisa berubah menjadi kesal dengan lawan bicara. Bagian awal puisi yang ketiga  tampak ingin menggambarkan situasi seperti itu. 

Perilaku seseorang dalam percakapan telepon terkadang pula tidak terlalu berani untuk mengutarakan langsung apa yang menjadi tujuannya. Pembicara akan "berkisah" terlebih dahulu  masalah yang sedang dihadapi orang lain, lalu pembicaraan mengarah pada masalah yang sedang dihadapi diri sendiri. Begitulah yang "Narti" lakukan hingga apa yang diutarakannya melalui telepon begitu mengejutkan "aku".

Apa yang menarik dari puisi yang hanya menghadirkan percakapan-percakapan telepon dengan tiga model komunikasi seperti itu? Tentu saja akan menjadi menarik bila kita mau melihatnya dalam upaya membandingkan antara percakapan dua orang melalui telepon dengan "Percakapan" dua orang (penyair dan pembaca) melalui puisi. 

Puisi berjudul  "Tiga Percakapan Telepon" menunjukkan bagaimana salah tafsir seringkali terjadi dalam komunikasi. Bahasa menjadi faktor utama yang menyebabkan salah tafsir itu terjadi. 

Demikian juga dalam komunikasi penyair-pembaca melalui puisi. Seorang pembaca akan mengalami salah tafsir karena faktor bahasa puisi yang digunakan penyair.

Sapardi Djoko Damono seperti menemukan salah tafsir pembaca atas puisi-puisinya. Oh, tidak! Sapardi belum menemukan salah tafisr itu. Ia hanya memperingatkan terjadinya salah tafsir tersebut. Bagaimana bila salah tafsir pembaca benar-benar terjadi?

Pertemuan Kedua: Tak Usah Menafsirkannya sebagai Apapun

 Kali ini aku harus membaringkan tubuhku hanya untuk mengendurkan urat-urat sarafku. Untuk berkomunikasi denganmu lagi, aku membutuhkan waktu jeda. 

Aku berharap ada "seseorang" yang masuk dalam pikiranku, yang mau bercerita mengenai dirimu yang lain. Benar saja, pada lembar kertas yang berhalaman 29 sampai 34, aku berjumpa denganmu lagi. Duh, ternyata dirimu ada banyak, lebih dari pertemuanku yang pertama. 

Meski begitu, aku merasa senang karena pertemuanku yang kedua ini ternyata berkaitan dengan pertemuanku denganmu sebelunya. Aku cukupkan tubuhku dari pembaringan dan menemuimu  bersama segelas kopi yang tinggal setengah isi.

Sungguh aku terkejut, kamu mengawali percakapanmu dengan kata-kata "Siapa gerangan berani menafisrkanku sebagai awan ...." dan di tempat lain kamu juga berujar, "Siapa yang menyuruhmu menafsirkanku sebagai sungai ...." Dahiku berkerut, menghadapimu berkata-kata seperti itu membuat nyaliku ciut. 

Apalagi saat  kamu secara terang-terangan mengatakan bahwa kamu tidak memiliki urusan dengan duniaku, "Siapa pula yang bilang/aku berurusan dengan duniamu?/..../Jangan tafsirkan aku/sebagai apa pun/sebab aku tidak pernah ada/dan tidak akan ada."  

Aku tetap tidak mau pertemuanku yang kedua denganmu menjadi gagal hanya karena kamu berkata-kata seperti itu. Aku melihatmu tidak sedang marah kepadaku atau kepada siapa pun. Maka dari itu aku tetap berhadapan denganmu. Aku masih sangat ini mendengar perkataan-perkataanmu:

Tolong tafsirkan aku sebagai hasrat

untuk lebih lama bersamamu.

Tolong ciptakan makna bagiku,

apa saja -aku selembar daun terakhir

yang ingin menyaksikanmu bahagia

ketika sore tiba

....

Aku tidak terlibat dalam makna

seperti yang mereka bayangkan

tentang diri mereka sendiri-

bukan bahasa yang tak lain masa lalu.

Dan kau jga tak akan mampu

membayangkan aku

sebagai kapan saja.

Aku tidak memerlukan bahasa-

diam bukan batu, mengalir bukan sungai,

dicangkul bukan sawah,

terbang bukan burung,

bertahan bukan daun.

Aku tidak, bukan apa pun

Sesungguhnya banyak yang kamu katakan, namun aku ingin menggarisbawahi kata-katamu itu. Aku terkesima saat mereka yang membacamu menafsirkan apa pun tentang perkataanmu, kamu menerima tafsir mereka. 

Akan tetapi, rupanya kamu cukup terganggu juga dan kamu hadir melalui perkataan yang ingin menegaskan kepada mereka dan kepadaku juga. Kamu seakan menjelaskan dirimu sendiri dan menghendaki mereka agar seperti yang kamu kehendaki. 

Seperti apa pun keadaan dan sikapmu, kamu yang bernama "Tafsir Sajak" tetap tak luput dari tafsir dan salah tafsir. Aku sangat setuju saat kamu meminta agar kita menafsirkan kamu sebagai "hasrat", bahwa kamu tak lain adalah keinginan untuk selalu bersama pembaca. 

Maka dari itu, amat wajar bila dirimu bukanlah "puisi-yang-mati-setelah-dimaknai". Kamu adalah puisi yang tidak memerlukan "bahasa" pembaca, tapi "bahasa" dirimu sendiiri.

 Setelah aku mengetuk pintumu dan kamu menemuiku, kini aku merasa, diriku lah "Den Sastro" itu yang tidak akan pernah bisa membawa "berita yang sesungguhnya" tentang dirimu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun