Tidak setiap orang bisa melupakan kenangan dalam hidupnya. Banyak di antaranya, mereka yang tak sanggup untuk menghilangkannya dari ingatan.Â
Banyak dari mereka pula mengubah kenangan menjadi monumen yang indah dan megah dalam wujud bangunan atau sekadar tugu; menjadi hari khusus yang setiap tahun diperingati; menjadi catatan tertulis dalam bentuk berbagai buku; atau minimal tersimpan di dalam hati. Beberapa penyair juga menjadikan kenangan dalam bentuk puisi.
Singkat kata, kenangan tak lekang dimakan waktu, menjadi kekal dalam kehidupan individual maupun kolektif. Beberapa kenangan pun menjadi amat sakral dalam ritual kebudayaan dan keagamaan.
Meski demikian, Sapar Djoko Damono melihat kenangan tak lebih dari masa lampu yang harus ditinggalkan. Kehadiran kembali kenangan tak bisa dipaksakan, karena menurut Sapardi:
Tidak setiap orang bisa menjejalkan
kenangan ke besok. Di mana gerangan
tempat terbaik baginya. Ia milik kemarin,
milik igauan yang tak kenal arah angin
Perhatikanlah pemakaian kata "besok", "milik kemarin", "milik igauan", dan "tak kenal arah angin". Dalam puisi Sapardi yang berjudul "Kenangan" itu memperlihatkan kenangan sebagai waktu yang lampau, masa lalu yang telah menjadi "kemarin". Maka dari itu, kenangan hanya dapat berada di tempat terbaiknya, yakni masa yang telah lewat. Kenangan pun menjadi tidak lagi berarti, karena ia hanya berupa "igauan" yang tidak jelas arahnya. Mungkin juga yang tak lagi mempunyai arti.
Dalam bait kedua, Sapardi menambahkan:
Â