Piala Dunia merupakan gelaran akbar cabang olahraga sepakbola yang mempertemukan berbagai orang di seluruh dunia, tidak peduli status ekonomi mereka. Dengan adanya rasa bersama dalam satu minat -sepakbola, maka tidak heran gelaran ini juga dipandang dari berbagai pemahaman dan bidang yang berbeda. Dalam bidang Hak Asasi Manusia, Qatar mendapat pandangan negatif terkait upaya mereka mengembangkan kawasan layak Piala Dunia dengan dugaan 'menghalalkan' perbudakan.
Selama proses pembangunan sarana dan prasarana penunjang untuk Piala Dunia (yang utamanya adalah stadion) seringkali media-media massa memberitakan soal kejadian miris. The Guardian saja membeberkan ada sekitar 6.500 migran yang bekerja dalam pembangunan sarana-prasarana Piala Dunia di Qatar yang telah meninggal dunia. Tentu ini akan menjadi suatu hal yang memalukan bagi Qatar selaku penyelenggara dan FIFA selaku regulator kompetisi jika angka tersebut terbukti benar.
Beberapa negara di dunia dan football expert menyerukan boikot terhadap Piala Dunia di Qatar sebagai protes perbudakan dan tindakan kepedulian terhadap hak-hak buruh yang dipreteli di Qatar.
Qatar sendiri tentu tidak tinggal diam, namun tidak menutup beberapa fakta yang ada. Hal ini karena niat untuk melaksanakan prinsip transparan terhadap segala proses penyelenggaraan kompetisi sepakbola terbesar tersebut.
Pada tahun 2018, ILO (International Labour Organization) membangun kantor di kawasan Qatar yang dianggap meyakinkan mata dunia bahwa Qatar dalam pengawasan ketat terhadap perlakuan buruh yang bekerja di sana. Ditambah pada tahun 2020, mereka memberlakukan aturan ketat soal pemberian gaji minimum dan pelonggaran hak-hak para buruh yang bekerja untuk pembangunan sarana dan prasarana Piala Dunia. Dua upaya ini sudah diketahui dan diharapkan dapat mengembalikan kepercayaan dunia bahwa mereka menghormati manusia yang bekerja kasar di sana -sebagai buruh.
UPAYA
Qatar memiliki sistem Kafala. Sebuah sistem yang membuat semua pekerja migran harus berada dalam naungan suatu 'sponsor' yang mengurus gaji dan visa mereka selama bekerja di negara-negara teluk, terutama di Qatar. Sistem Kafala memberikan hak bagi 'sponsor' untuk mengatur segalanya sehingga mereka bisa memasok tenaga kerja yang banyak dan murah. Namun sistem ini mendapat kritik keras dari sebagian organisasi non-profit dunia karena membuka peluang besar untuk melaksanakan perbudakan.
Qatar memang sudah lama menerapkan sistem Kafala, namun mereka juga berupaya untuk mereformasinya karena pandangan negatif dunia dan usaha reformasi hukum yang membuat Qatar menjadi makin ramah bagi negara-negara lain. Namun bisa dikatakan hal itu sedikit terlambat.Â
Sebelumnya, usaha Qatar mereformasi hukum dan mencoba melindungi hak-hak pekerja imigran dilaksanakan pada tahun 2018 hingga 2020. Pembangunan dan renovasi stadion untuk Piala Dunia bahkan sudah dimulai sebelum 2018 dan sistem Kafala masih ada. Artinya konteks 'perbudakan' bisa disangkutpautkan lagi.
Qatar tetap teguh pada upaya mereka bekerja sama dengan ILO dan menunjukkan kebijakan upah minimum dan pelonggaran hak pekerja imigran. Dibantu oleh media besar mereka, Al Jazeera, mereka mulai gencar menunjukkan bahwa mereka juga ingin berubah ke arah yang lebih baik sekaligus menuduh media dari negara-negara barat sebagai 'media hipokrit'. Melalui menteri Luar Negeri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani mengira bahwa ada yang tidak menyukai negara kecil di Timur Tengah menjadi tuan rumah perhelatan kompetisi olahraga kelas dunia dan membanggakan terjual tiket sebanyak 97% dari yang ditargetkan.
ADA YANG MEMBANTU
Pelatih Timnas Inggris, Gareth Southgate menilai upaya boikot merupakan hak bagi yang ingin memboikotnya, namun secara realita itu tidak mungkin karena segala teknis dan persiapan Piala Dunia 2022 sudah rampung. Mengubah hal-hal mendasar di tengah jalan adalah suaut kekeliruan. Hal yang bisa dilakukan adalah turut mengikuti kegiatan kompetisinya saja dan boikot tidak memiliki kekuatan apa-apa bila kompetisi sudah berjalan.