Pisahnya Timor Timur dan Merdeka sebagai Timor Leste membuat sebagian publik di Republik ini sinis dengan perkembangan negara tersebut. Hanya satu yang mencoba berdamai dengan kejadian masa lalu tersebut: pemerintah pusat dengan komitmen mengenai kesejahteraan di perbatasan.
Hari ini (20 Mei). Timor Leste resmi mendeklarasikan kemerdekaannya.
Negara yang sudah memasuki "usia dewasa" ini merupakan kawasan yang pernah dimiliki oleh dua negara, yaitu bangsa Portugis dan Republik Indonesia. Meskipun pernah menjadi provinsi ke-27 di Indonesia, bukan berarti orang-orang berpengaruh saat ini bagi Timor Leste pernah puas dengan apa yang dilakukan rezim Orde Baru. Berbagai tragedi terus terjadi hingga akhirnya referendum di masa presiden Habibie membuat provinsi di pulau Timor tersebut lepas untuk selama-lamanya.
Diskusi yang berkaitan dengan masa lalu Timor Leste sebagai provinsi tidak lepas dari dua hal, yaitu intervensi TNI dan negara Australia. Intervensi TNI di wilayah Timor Timur dulu dianggap sebagai upaya yang lumrah karena disebut sebagai tindakan menjaga kedaulatan negara. Imbas dari kuatnya pengaruh TNI selama masa intervensi Timor Timur adalah memunculkan tragedi, salah satunya Tragedi Santa Cruz. Sejak kejadian itulah, dunia mulai perhatian dengan Timor Timur dan berakhir pada hasil referendum yang menyudahi kedaulatan Indonesia terhadap wilayah yang beribukota Dili tersebut.
Pertentangan mengenai pantasnya Timor Leste merdeka dan anggapan bahwa negara tersebut berkembang tidak lepas dari peran Australia terhadap wilayah kaya hasil tambang tersebut. Australia bisa dikatakan bisa "bermain cantik" perihal kemerdekaan Timor Leste. Selama konflik, mereka berperan sebagai "securitizing actor" dan Australia sukses mendapatkan kepercayaan dunia dalam menjalankan misi perdamaian dibawah nama INTERFET (International Force of East Timor).
"Kebencian" masyarakat Timor Timur terhadap Indonesia dimulai pada tahun 1975 lewat Operasi Seroja. Kemiskinan parah yang menerpa masyarakat Timor Timur akibat intervensi TNI tahun 1976 membuat kepercayaan FRETELIN dari masyarakat di sana meningkat (Indrawan, 2015). Namun organisasi geriliyawan tersebut memang kalah dari segala aspek sehingga wilayah Timor sepenuhnya bisa dimiliki oleh Indonesia.
Demi menunjukkan itikad baik pemerintah Indonesia terhadap wilayah yang baru dicaploknya, pemerintah melakukan berbagai upaya terhadap warga disana. Termasuk pengambil-alihan anak-anak Timor Timur yang dianggap sulit hidup hingga mencari kesejahteraan diadopsi oleh orang-orang kepercayaan pak Harto. Namun hal itu tetap meninggalkan jejak pilu pada sebagian besar anak-anak adopsi tersebut. Sekitar 4.534 anak yang diangkut dari wilayah Timor Timur ke Indonesia periode 1975-1999 (Historia.id, t.t).
Kondisi pilu tersebut membuat Australia mencari kesempatan agar warga Timor Timur bisa memperoleh kemerdekaan. Australia lewat pemerintahannya mendorong Presiden Habibie untuk memberikan 'referendum' ketimbang otonomi (Kusuma, 2015). Pasca tumbangnya Soeharto dari pucuk pimpinan RI, PBB mulai mencanangkan pengamanan kondisi di Timor Timur dan hal itu menjadi keuntungan bagi Australia.
Dengan pemberitaan luar negeri yang negatif tentang Indonesia disertai dengan tekanan dunia internasional, Presiden Habibie akhirnya mengabulkan "referendum" yang diinginkan oleh pihak-pihak tertentu. Presiden Habibie sesungguhnya sudah memulai proses perdamaian dengan warga Timor Timur dan hal tersebut sesuai dengan pernyataan Kusuma (2017) :
"BJ Habibie dinilai telah memberikan kesempatan referendum bagi masyarakat Timor Timur saat itu sebagai bentuk dari penerapan norma anti penjajahan dan penghormatan HAM."
Pada tanggal 30 Agustus 1999, referendum dilakukan dengan pengawasan Indonesia bersama PBB dan akhirnya menghasilkan "kemerdekaan" bagi Timor Leste. Selanjutnya pemulihan pemerintahan terus dilakukan oleh PBB hingga tanggal 20 Mei 2002, PBB mempercayakan Timor Leste untuk berdiri dan menjalankan kehidupan negaranya secara independen.