Mohon tunggu...
Muara Alatas Marbun
Muara Alatas Marbun Mohon Tunggu... Guru - Alumni U Pe' I

Seorang lulusan yang sudah memperoleh pekerjaan dengan cara yang layak, bukan dengan "orang dalem", apalagi dengan "daleman orang"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Demo (Unjuk Rasa) Merupakan Respon Lanjutan dari Kekhawatiran yang Tak Teratasi

25 Oktober 2019   11:10 Diperbarui: 25 Oktober 2019   11:23 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Demo Hong Kong, Demo Penolakan Reklamasi Teluk Benoa, dan Demo #ReformasiDikorupsi adalah serangkaian respon berkepanjangan segelintir golongan masyarakat yang menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap perlakuan pemerintah terhadap segala hal yang perlu tuntutan. Demo Hong Kong adalah penolakan terhadap UU Ekstradisi yang menjadi awal mula hukum Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mulai merasuki kehidupan berbangsa dan bernegara daerah Hong Kong yang menjunjung tinggi demokrasi. Demo Penolakan Reklamasi Teluk Benoa merupakan bentuk kepedulian lingkungan beberapa figur kenamaan dari Bali yang bersama dengan elemen masyarakat lainnya yang menolak beberapa pihak --yang didukung pemerintah---untuk 'mengoyak-ngoyak' daerah Teluk Benoa. Demo #ReformasiDikorupsi juga menjadi aksi dari mahasiswa yang menolak berbagai RUU yang tidak pro-rakyat dan pro pemberantasan korupsi.

Sesungguhnya, apa yang melatarbelakangi niat segelintir orang ini untuk berdemonstrasi di jalanan ? hal ini perlu dibuktikan dari beberapa sudut pandang. Menurut Sirikit (2015), lingkaran publik makin meluas berkat bantuan kanal media cetak, elektronik, hingga daring. Lingkaran publik dalam hal ini adalah 'area' yang berisi berbagai opini publik  dan kebenarannya hanya bisa ditemukan pada publik. Jika tidak ada unsur pemerintah/aparat yang sejalan dengan lingkaran publik tersebut, maka peluang terjadinya perbedaan pemahaman hingga berujung pada aksi demonstrasi berpeluang terjadi.

Opini dalam lingkaran publik tidak lepas dari kehadrian media massa yang seringkali disebut sebagai "kekuasaan keempat" dalam demokrasi. Namun, politisasi media massa sebagai wahana politik praktis bagi beberapa politisi terkemuka mulai menjadi rahasia umum. Kuasa politisi media massa mampu mengendalikan dan membatasi berita yang disajikan demi upaya komunikasi politik praktis (Martin, 2015). Berdasarkan hal tersebut, untuk orang-orang yang memiliki nalar yang lebih kuat akan berpikir bahwa mereka membutuhkan media massa yang independen atau membentuk sarana media informasi tersendiri untuk membentuk opini masyarakat demi mendukung gerakan mereka untuk menuntaskan misi mereka dalam beraspirasi.

Masalah yang dituntut oleh mahasiswa rata-rata merupakan masalah yang berkaitan erat dengan hajat hidup masyarakat kelas menengah kebawah dan seterusnya. Demi menentang "ketidakbecusan" pemerintah sebagai pihak yang punya kekuatan dan wewenang dalam mengatur hidup masyarakat menuju masyarakat yang aman dan sejahtera, mahasiswa melakukan berbagai cara dalam mengingatkan urgensi masyarakat kepada pemerintah dengan berbagai cara yang salah satunya adalah demonstrasi (Priambodo, 2016). Mengingat demo yang dilaksanakan di negara dengan menganut sistem demokrasi, acapkali kuantitas mahasiswa dalam menyikapi substansi yang diusung dalam demonstrasi tidak seragam pada tiap-tiap pandangan mahasiswa sehingga tidak seluruh demonstrasi berakhir dengan hasil yang diinginkan.

Tiga hal yang bisa kita kumpulkan dari beberapa faktor penyebab mahasiswa dan elemen masyarakat lainnya bersikap reaktif dengan melakukan demonstrasi, antara lain : (1) Opini publik yang tak sejalan dengan pemerintah/aparat, (2) Ketidakpercayaan terhadap beberapa media massa yang dipengaruhi politisi tertentu, dan (3) Masalah nyata yang tak terselesaikan secara menyeluruh dan tak tegas. Masalah klasik ini perlu dilihat dari substansi yang ingin disampaikan, dan bukannya memangkas fokus pada satu hal yang bombastis macam kericuhan dan konspirasi penyebab demo. Ketiga hal tersebut bisa menjadi refleksi untuk memposisikan demonstrasi yang tentunya punya peluang terjadi kericuhan tersebut dianggap sebuah hal yang patut dipahami secara substantif dan menjadi keresahan bersama atau bisa juga memperhatikan hal-hal yang bombastis dan perlu dikritik dengan mengesampingkan tujuan mahasiswa dan elemen masyarakat yang rela turun ke jalan dan berhadapan dengan aparat berwenang.

Sumber :

  • Martin, R. (2015). "Politization Media as a Tool to Tear Apart Indonesian Society". Dalam Haryono, N. & Puspitasari, I. (Penyunting), Prosiding International Conference on Democracy and Accountability (ICoDA) 2015 (hlm. 146-150). Surabaya: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
  • Priambodo. (2016). Studi Komparasi Model Aksi Demonstrasi dalam Gerakan Mahasiswa Indonesia Tahun 1966 dan 1998. Risalah, 6(2), tanpa halaman. Diakses dari: http://journal.student.uny.ac.id/ojs/ojs/index.php/risalah/article/view/1549
  • Sirikit, H. (2015). "Modern Public Sphere and The Challenge for Democracy". Dalam Haryono, N. & Puspitasari, I. (Penyunting), Prosiding International Conference on Democracy and Accountability (ICoDA) 2015 (hlm. 95-99). Surabaya: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun