HAK ASASI MANUSIA
Hak Asasi Manusia (HAM) membangkitkan bayangan akan pelanggaran dan korban. Ia juga semakin dikaitkan dengan norma-norma legal. Yang membuat hukum HAM berbeda dari hak-hak legal lainnya ialah bahwa HAM merupakan hak yang dimiliki semata-mata karena keberadaan seseorang sebagai manusia. Hak asasi manusia didasarkan pada anggapan mengenai martabat yang melekat pada diri setiap orang. Hak-hak tersebut tidak bisa diberikan atau direnggutkan oleh penguasa manapun atau oleh sistem hukum apapun.
HAK ASASI MANUSIA DAN LINGKUNGAN
Secara resmi, hubungan antara hak-hak manusia dan lingkungan, untuk pertama kalinya muncul pada tahun 1972 di Konferensi Stockholm tentang Lingkungan Manusia (the Human Environment). Pertemuan Rio de Janeiro (Earth Summit) pada tahun 1992 berhasil menyusun aturan normatif untuk hak-hak manusia dan lingkungan yang diatur dalam Deklarasi Rio dan Rencana Aksi Agenda 21. Selanjutnya pada tahun 1994, Reportur Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia dan Lingkungan untuk Sub Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minoritas mengeluarkan analisis yang luar biasa dan mendalam mengenai hubungan antara HAM dan lingkungan. Laporan ini menyimpulkan bahwa kerusakan lingkungan telah menyebabkan dampak serius terhadap kualitas HAM. Belakangan berbagai aturan PBB, keputusan pengadilan dan badan-badan internasional telah mempertajam dan mendukung pernyataan tersebut. Sayangnya, hingga saat ini, masih sangat sedikit aturan tentang hak asasi lingkungan yang bersifat mengikat secara hukum.
Lebih lanjut lagi, mereka yang menderita atas pelanggaran hak lingkungan tersebut, tidak selalu memiliki akses terhadap hukum. Hukum-hukum internasional tentang HAM, dan secara khusus mengenai hak lingkungan masih sangat kompleks, lamban, dan sangat rendah tingkat penegakannya. Tidak semua negara pula yang telah menjadi pihak dalam berbagai kovenan regional atau internasional yang relevan, dan akhirnya warga negaranya pun tidak memiliki akses terhadap kovenan yang relevan tersebut. Akses terhadap pengadilan internasional umumnya hanya dapat diperoleh ketika jawaban di tingkat nasional sudah tidak memungkinkan. Meskipun beberapa di antaranya telah berhasil diangkat ke sistem pengadilan tingkat internasional, kemenangan belum berarti dan masih jauh.
Meskipun demikian, deklarasi hak-hak asasi manusia dan kovenan-kovenan internasional yang ada membawa kekuatan moral, dan dapat digunakan untuk menarik perhatian global kepada pelanggaran yang terjadi di manapun di sudut bumi ini. Tekanan publik yang signifikan dapat digunakan bagi pemerintah melalui pengadilan untuk menegakkan hukum-hukum internasional ini. Masyarakat yang dirugikan oleh proyek pembangunan juga dapat belajar untuk menggunakan sistem hukum nasional dan internasional untuk membawa perhatian publik dan memperkuat perjuangan mereka untuk keadilan. Hal ini telah dilakukan oleh berbagai masyarakat di Indonesia, seperti masyarakat Kuto Panjang, yang menggugat pertanggungjawaban JBIC dan pemerintah Jepang atas pembangunan DAM Kuto Panjang, atau juga masyarakat Buyat yang saat ini tengah berjuang melawan perusakan lingkungan yang diakibatkan oleh operasi pertambangan emas milik Newmont.
Hak atas lingkungan sebagai HAM barulah mendapatkan pengakuan dalam bentuk kesimpulan oleh Sidang Komisi Tinggi HAM pada bulan April 2001 bahwa, “Setiap orang memiliki hak hidup di dunia yang bebas dari polusi bahan-bahan beracun dan degradasi lingkungan hidup.”
Dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia pada Amandemen ke-2 UUD 1945, Pasal 28H ayat (1) menyebutkan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Dalam pasal 28 H ayat 1 ini, dalam tafsir-nya, hak hidup layak dan bersih tidak hanya merujuk pada fisik lingkungan hidup, lebih dari itu, hak hidup layak dan bersih merupakan esensi dan eksistensi manusia untuk dijamin agar terpenuhinya hak hidup manusia.
Hak atas lingkungan dalam hukum nasional, juga secara tegas antara lain telah dicantumkan dalam Pasal 5 dan 8 UU No. 23 Tahun 1997, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, bahwa: “Setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Demikian pula UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM, Pasal 3; menyebutkan “Masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.”
Secara umum, uraian tersebut memperlihatkan betapa penting komponen lingkungan dalam menunjang dan memenuhi hak hidup manusia, sebagaimana hak atas lingkungan berkaitan pula dengan pencapaian kualitas hidup manusia.
Pada tahun 1994, melalui Sub-Komisi PBB on the prevention of discrimination and protection of minorities (Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minoritas), telah diajukan suatu draft prinsip deklarasi HAM dan lingkungan hidup yang menjelaskan, bahkan menegaskan pentingnya konsepsi HAM dan lingkungan sebagai konsep kolektif.
Dokumen draft prinsip deklarasi HAM dan Lingkungan Hidup yang pernah diajukan oleh Zohra Ksentini (Reportur Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia dan Lingkungan untuk Sub Komisi Pencegahan Diskriminasi dan P
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI