Selokan di depanku telah penuh dengan air. Arusnya yang deras telah membawa daun-daun akasia kering yang sebelumnya berserakan di sekitarnya. Ah…sesuatu yang tua dan usang mungkin memang sudah seharusnya dibuang seperti daun-daun kering yang terbawa derasnya air selokan.
Hujan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Bahkan suara kerasnya guntur seolah tak mau kalah dengan kencangnya angin yang membuat pohon-pohon akasia di depan sana seolah menari-nari tanpa henti.
Dingin malam ini telah membuat tubuhku cukup menggigil. Aku baru sadar kalau dari tadi siang perutku belum terisi. Tiba-tiba saja aku merasa lapar. Ah…tapi lagi-lagi aku hanya bisa menggerutu karena hujan belum juga mereda yang membuat aku tidak bisa meninggalkan tempatku berteduh, emperan sebuah toko yang tidak seberapa lebar di kawasan kota lama.
Sesekali aku melirik seorang perempuan yang dari tadi ikut berteduh denganku di tempat ini. Dalam remangnya cahaya aku lihat wajahnya. Make up tebal menghiasi wajahnya yang -kalau aku tidak salah menebak sudah setengah tua. Dia tidak memakai jaket, hanya mengenakan kaus ketat berwarna merah muda dengan celana jeans biru ketat. Rona gelisah terlihat dari wajahnya. Tanpa bicara sepatah kata pun, sebentar-sebentar dia melihat sekitar seolah-olah sedang menunggu sesuatu atau juga mungkin seseorang. Ah…kenapa aku begitu memperhatikan perempuan ini?
“Menunggu jemputan ya, Bu?” tanyaku basa-basi.
“Nggak kok dik,”jawabnya. Hanya sekilas matanya melirik ke arahku.
Kami pun terdiam. Dan aku pun kembali melihat air selokan yang sekarang telah meluber dan menggenangi jalanan di depanku. Sebentar lagi pasti musim banjir. Kota ini memang tidak pernah lepas dari banjir setiap tahun. Makanya penduduk kota ini sudah menganggap banjir sebagai bagian dari kehidupan mereka dan menyebutnya musim banjir.
Suara sepeda motor yang berhenti di depanku membuyarkan lamunanku. Seorang laki-laki dengan jaket kulit hitam turun dari sepeda motor. Wajahnya tertutup kaca helm yang masih menempel di kepalanya. Dengan berjalan membungkuk seolah menghindari tetesan air hujan yang mengenai kepalanya ia berjalan menghampiri perempuan di sebelahku. Mungkin suaminya, pikirku.
Kudengar mereka bercakap-cakap. Iseng aku menguping percakapan mereka.
“Dua puluh ribu ya…gimana?” tanya laki-laki berjaket hitam.
“Jangan donk, Mas. Masak dua puluh ribu. Lima puluh ya,” jawab perempuan itu.
“Wah kemahalan, Mbak. Kalau segitu aku bisa cari yang lebih muda,” kata lelaki berjaket hitam lagi.
“Ya Mas-nya maunya berapa? Tapi jangan dua puluh donk. Tiga puluh ya…”
“Kalau mau ya segitu, kalau nggak mau ya sudah,” kata lelaki itu lagi sambil melangkah menuju sepeda motornya dan langsung pergi.
Perempuan di sebelahku terdiam. Aku pun terdiam. Hanya suara derasnya air hujan yang menghantam atap seng di atasku diiringi sesekali suara guntur besahut-sahutan. Jam di handphone-ku sudah menunjukkan jam setengah sembilan malam.Ah sepertinya hujan ini masih lama akan mereda. Dan perutku masih tetap lapar.
“Tadi suaminya ya, Bu?” pertanyaan bodoh itu tiba-tiba saja keluar dari mulutku.
“Nggak kok Dik. Masak Adik ini nggak ngerti apa pekerjaan saya?” jawaban yang membuat aku semakin merasa tidak enak.
Seperti disambar petir aku baru sadar. Bukankah di kawasan ini banyak…ah betapa bodohnya diriku. Aku semakin merasa tidak enak dengan perempuan di sebelahku.
“Ibu rumahnya mana?”, ah lagi-lagi tanpa sadar aku mengeluarkan pertanyaan bodoh.
“Kota atas, mas. Kenapa?”, kali ini dia menatapku.
“Nggak apa-apa kok”, jawabku kikuk.
Kamipun terdiam. Dalam bayanganku anak-anak dari perempuan itu sudah berumur 9 atau 10 tahun. Saat ini dia pasti sedang menunggu ibunya pulang. Ibu yang dalam harapannya membawa sekedar oleh-oleh sepulang kerja atau paling tidak memberikan pelukan hangat ketika tidur di dalam kamar apalagi dengan cuaca seperti ini…ah itu pun kalau mereka benar-benar memiliki rumah, setidaknya tempat berteduh. Tidak ada sesuatu apapun yang cuma-cuma, semua harus dibeli. Lagi-lagi barang buatan manusia yang bernama uang semakin maha kuasa. Dia disembah di mana-mana, bahkan orang ketika bersembahyang pun uang juga yang diinginkan dan diminta. Tanpa uang, hidup jangan harap untuk dilanjutkan. Tapi…bukankah hidup harus terus berjalan? Persetan dengan moral! Ah..moral? Moral siapa? Atau…moral yang seperti apa? Apakah perempuan di sebelahku ini lebih bobrok moralnya dari pada para pencuri uang rakyat? Atau orang-orang yang memangsa sesamanya demi menumpuk harta? Atau dari aku sendiri? Atau jangan-jangan aku merasa lebih bermoral dari mereka semua? Tidak, sekali lagi tidak.
“Adik masih kuliah?”, tanyanya tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
“Eh…nggak Bu…saya nganggur”, jawabku gugup.
Keheningan kembali datang. Aku tak tahu apa yang bisa menjadi bahan pembicaraan lagi. Aku takut kalau-kalau pertanyaanku akan menyinggung perempuan itu. Aku mengeluarkan bungkus rokok yang isinya tinggal tiga batang dari saku jaket. Ragu aku menawarkan rokok kepada perempuan di sebelahku…sedangkan dia tanpa ragu mengambil sebatang dan aku yang langsung menyalakannya dengan korek apiku sebelum kemudian menyalakan sendiri rokok yang sudah menempel di bibirku.
Aku menghisap dalam-dalam rokokku, berusaha mengusir rasa dingin dan lapar yang sedari tadi menyiksaku…tapi tidak berhasil. Aku mengutuk hujan. Hujan yang sepanjang kehidupan kota ini lebih banyak mendatangkan kesengsaraan bagi manusia penghuni kota ini. Hujan yang telah membuat beribu-ribu manusia harus meninggalkan tempat bernaung mereka ketika sungai dan selokan gagal menampung airnya. Ah…kenapa pula aku harus menyalahkan hujan? Bukankah hujan sudah ada bahkan sebelum manusia itu ada? Paling tidak itu yang aku tahu. Lalu siapa pula yang harus disalahkan? Bukankah setiap muncul korban pasti ada sesuatu yang salah? Paling tidak itu akan membuat hati kita tenang karena kita percaya bukan kita yang salah. Ya…paling tidak itu yang ada di kepalaku..harus ada yang disalahkan. Hahaha…,aku tertawa dalam hati menyadari kengototanku menyalahkan sesuatu di luar diriku. Bukan…,itu bukan kengototan, itu adalah kenyataan. Kenyataan bahwa ada yang salah yang membuat beribu-ribu orang mengungsi, kehilangan tempat tinggal, yang pada intinya adalah mendatangkan penderitaan dan kesengsaraan, mencabut rasa aman mereka. Bukankah di negeri ini dan negeri manapun ada setidaknya sekelompok orang berkewajiban atau paling tidak diberi kewajiban untuk menjaga rasa aman beribu-ribu bahkan berjuta-juta manusia yang lain? Apa saja yang mereka lakukan selama ini? Kenapa mereka tidak bisa mengatasi sesuatu yang sudah ada berabad-abad bahkan bermilenium-milenium lamanya seperti hujan ini? Mengapa tetap saja harus ada manusia yang kehilangan rasa aman dan menderita ketika hujan datang?
Ah…tetap saja aku membenci hujan. Hujan inilah yang sekarang ini telah memaksaku berteduh di emperan toko yang telah tutup sedari sore tadi dalam keadaan lapar dan dingin. Hujan juga yang telah memaksaku berteduh bersama seorang perempuan yang berprofesi sebagai…
“Hey..kau mau bicara soal moral lagi? Apa hakmu untuk menilai moral seseorang yang bahkan baru kau temui sebentar tadi? Bukankah ini salahmu juga karena tidak punya keberanian untuk menerobos derasnya hujan dan pulang ke rumahmu yang hangat? Bukankah kau tidak peduli kepada perempuan itu yang juga kedinginan dengan sedikit harapan bahwa malam ini bisa memberikan sekedar oleh-oleh untuk anaknya? Bukankah kau juga tidak perduli kepada anak perempuan itu yang saat ini tengah menunggu kedatangan ibunya demi sebuah pelukan sebelum tidur?”, suara-suara dari diriku yang lain seolah sedang menghakimiku dengan pertanyaan bertubi-tubi seakan ratusan peluru yang keluar dari senapan otomatis di medan perang.
Bukan…bukan maksudku untuk menilai moral seseorang. Aku tidak berani melakukan itu. Hey..kenapa aku pula yang harus disalahkan? Memang aku penakut, kalau tidak mau dibilang sebagai pengecut yang tidak berani menerobos derasnya hujan malam ini. Tetapi itu bukan kesalahan menurutku. Terus kalau perempuan itu kedinginan apa itu juga kesalahanku? Apa? Bukankah aku tidak tahu perempuan itu memiliki anak atau tidak?
Ah…aku tetap tidak mau merasa bersalah, apalagi disalahkan. Terutama oleh diriku sendiri.
Tiba-tiba aku merasa lelah. Sangat lelah. Aku belum lagi beristirahat dari siang tadi. Aku memang pengangguran jika itu diartikan sebagai orang yang tidak punya pekerjaan yang pasti, dan juga pendapatan. Dan bagiku itu lebih melelahkan daripada orang yang bukan pengangguran. Setidaknya mereka tahu apa yang harus dikerjakan, sedangkan aku tak tahu apa yang harus dikerjakan untuk menghabiskan hari-hariku. Aku memilih keluar dari rumah dan pergi ke sana-kemari untuk menghindari rasa malu jika bertemu dengan tetangga yang tahu aku adalah seorang pengangguran. Aku masih beruntung orang tuaku masih berbaik hati memberikan uang saku kepadaku setiap harinya. Dan aku yakin, perempuan di sebelahku ini lebih dari rasa malu yang ia takutkan. Ia lebih takut kelaparan daripada hanya sekedar rasa malu. Ya…sekedar rasa malu.
Ah…kenapa lagi-lagi aku menyiksa diri dengan memikirkan hal-hal yang begitu berat? Bukankah tadi aku sudah mengeluh kelelahan? Kelelahan tubuh dan pikiran memang kerapkali menyiksaku selama ini seperti cangkang kura-kura yang selalu menempel di punggung.
Perlahan-lahan aku duduk bersandar sambil memeluk lutut di pintu toko. Tak kupedulikan celanaku yang setengah basah dan kotor harus dikotori lagi dengan lantai emperan toko yang basah karena cipratan air hujan yang berhasil masuk. Tak terasa rokokku sudah habis kuhisap.
Hujan belum lagi menampakkan tanda-tanda akan berhenti. Suara petirnya masih saja terdengar keras di telingaku. Rasa kantuk tiba-tiba mendatangiku. Masih sempat aku melirik perempuan itu yang masih berdiri di tempatnya…
“Tolonglah Pak, jangan bawa saya”, suara perempuan yang memelas tiba-tiba mengagetkanku.
Apakah aku sedang bermimpi? Ada di mana aku? Aku berusaha mendapatkan kembali kesadaranku. Ah…aku ingat, aku pasti tertidur ketika sedang berteduh di emperan sebuah toko bersama…hey…perempuan itu..
“Sudahlah tidak usah banyak protes, cepat naik ke mobil”, seorang laki-laki tinggi besar berpakaian seragam cokelat muda memaksa perempuan itu menuruti kata-katanya. Ternyata laki-laki itu tidak sendiri, ia bersama beberapa laki-laki lain dengan pakaian yang sama sedang mondar-mandir di sekeliling sebuah mobil bak terbuka berwarna hijau yang di atasnya ada dua buah bangku panjang dengan posisi saling membelakangi dan beberapa perempuan yang duduk di atasnya dengan wajah tertunduk.
“Tolonglah Pak, jangan bawa saya. Saya mau pulang”, perempuan itu masih berusaha meminta belas kasihan orang-orang berseragam itu agar tidak dibawa.
“Sudah…sudah kelamaan. Ayo naik”, tiba-tiba laki-laki yang lain menyeret perempuan itu dan melemparkannya ke mobil.
Tak lama kemudian mobil itu berjalan dengan derumnya yang kasar. Masih sempat kulihat perempuan yang tak sempat kuketahui namanya itu menangis.
Ah…ternyata hujan telah berhenti, dan aku melangkahkan kaki untuk pulang.
Semarang, Januari 2011
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI