Mohon tunggu...
Mual P Situmeang
Mual P Situmeang Mohon Tunggu... Relawan - Pekerja Sosial

Spesialis Pelibatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Sekeping Pembelajaran: Bansos Memberdayakan atau Memperdayakan Masyarakat?

3 Juli 2024   10:00 Diperbarui: 3 Juli 2024   11:06 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inilah yang perlu diwaspadai pihak-pihak yang ingin 'menolong' atau membantu mereka. Yaitu pihak yang harus menyadari keterbatasannya sebagai outsider (Pihak diluar masyarakat yang perlu belajar mengenal mereka agar diterima dan dipercayainya). 

Program bantuan tersebut akan menambah permasalahan lebih kompleks.  Dalam jargon pengembangan masyarakat diistilahkan sebagai proses disempowerment atau memperdayakan dalam konotasi negatif atau mentidak-berdayakan akibat  ketidaksengajaan (not by design) atau salah kaprah (sasaran tidak tepat, tujuan, metode yang keliru).

Illustrasi DBM (Diskusi Bersama Masyarakat)-dokpri
Illustrasi DBM (Diskusi Bersama Masyarakat)-dokpri
Contoh dari kasus seperti ini adalah bantuan-bantuan yang mengabaikan peran dan tanggung jawab masyarakat sehingga masyarakat menjadi stagnant tetapi terus menerus menuntut bantuan baik kepada pemerintah maupun lembaga sosial non-pemerintah (NGO). Otot kemandirian masyarakat semakin lemah 'dimanjakan' oleh strategi jalan pintas yang hanya membuat mereka relief dalam waktu sesaat (berjangka pendek)

Ada banyak pembelajaran praktek 'menolong' atau memberi batuan sosial masyarakat yang berujung pada ekses timbulnya permasalahan baru akibat tumbuhnya sikap dependency yang tidak disadari pihak pemberi bantuan. Banyak kasus inisiatif besar dalam memajukan masyarakat yang terhenti tanpa berkelanjutan dan menjadi 'benda bersejarah bak musium' dan tontonan masyarakat diwilayahnya. Mereka menganggapnya sebagai 'proyek' pihak lain bukan sebagai  upaya bersama masyarakat.

Oleh karena itu lembaga sosial dan organisasi kemanusiaan dunia yang bernaung di PBB maupun NGO internasional lebih mengutamakan hasil kajian awal yang komprehensif (need assessment) sebelum melakukan intervensi pada permasalahan yang terjadi di masyarakat. Pemetaan permasalahan ini dapat mereduksi bias serta asumsi yang tidak akurat terhadap permasalahan yang akan ditanganinya.

Tetapi juga bukan semata kemampuan mendiagnosa akar permasalahan sosial saja yang menjadi faktor keberhasilan suatu program melainkan juga opsi solusi atau remedy terhadap permasalahan juga essential.

Misalkan saja permasalahan kesehatan seperti isu gizi buruk pada anak balita.  Kajian awal penyebab permasalahan gizi buruk memang dapat membantu memperjelas dan mengurai apa yang menjadi penyebab utama terjadinya isu tersebut.  Tetapi pemilihan model intervensi mengatasi isu atau permasalahan juga perlu kajian mendalam agar potensi keberhasilannya terukur. Masalah kesehatan gizi dan intervensinya lebih kental dengan pendekatan bebasis scientific.

Oleh karena itu pendalaman dari praktek model intervensi dan cerita sukses negara lain atau konteks lapangan yang serupa dalam mengatasi gizi buruk amat penting dieksplorasi dan dipertimbangkan untuk diadopsi dan direplikasi. Karena model intervensi yang berbasis-bukti-nyata (evidence base) lebih berpotensi berhasil dari pada intervensi baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun