Perhatian dan upaya membangun mental masyarakat Indonesia pada akar rumput dalam wadah komunitas seperti RT atau RW masih sangat kecil dan sporadis.  Sejak awal sejarah pergantian pemerintahan baik di pusat maupun didaerah belum  terlihat jelas ada perubahan mental penting terjadi di lingkungan RT.  Secara umum pembangungan lebih banyak mengarah pada perbaikan fisik dan lingkugan warga semata bukan mental manusianya. Â
Kader PKK, PIK, Â dan segala perangkat masyarakat (posyandu, posbindu, jumantik, dasawisma, yang menjadi mitra pemerintahan wilayah RT/RW hanya menyibukkan diri pada hal-hal perubahahan fisik seperti infrastruktur dan fasilitas umum lainnya. Â Tidak ada atau belum ada upaya besar dalam membangun mental masyarakat. Sekalipun sudah banyak penyuluhan yang mereka jalankan untuk membangun kesadaran baru seperti kesehatan, ekonomi, kesejahteraan keluarga dan lainnya tetap saja akar persoalan mentalitas warga belum tersentuh.
Program membangun kepemimpinan RT/RW tidak dirancang secara sistematis dan berkesinambungan melalui kebijakan dan anggaran. Pembinaan dan pelatihan RT/RW secara sporadis terlaksana semata-mata oleh kepedulian perorangan saja misalnya seorang Lurah atau pimpinan wilayah bukan oleh mekanisme pembinaan program pemerintahan daerah atau pusat. Oleh karena itu harapan akan perbaikan serta kemajuan mental masyarakat Indonesia tetap jauh panggang dari api. Â Revolusi mental hanya menjadi sebuah jargon penting akan sebuah perubahan radikal di masyarakat yang minim aktualisasi.
Dalam konteks masyarakat Indonesia wadah komunitas setingkat RT/RW merupakan faktor vital yang dapat melipat gandakan dampak perubahan pembangunan manusia. Disanalah miniatur Indonesia tergambarkan. Â Ia merupakan bentuk komunitas multi kultural yang hidup berdampingan dalam sebuah lingkungan yang difasilitasi oleh kepemimpinan setempat yaitu pengurus RT/RW. Â Mereka menjadi subyek pembangunan fisik dan mental bagi kerukunan serta kesejahteraan lingkungan. Â Sayangnya mikro Indonesia ini belum menjadi perhatian khusus untuk dijadikan sebagai sebuah investasi strategis pembangunan daerah atau wilayah. Isu yang sangat mikro tidak laku dijual untuk menjadi bahan promosi dalam pertarungan politik merebut kepemimpinan wilayah atau daerah. Â
Selain itu budaya pembelajaran atau kemauan untuk belajar dari pengalaman pembangunan masa lalu belum menjadi kebiasaan penting bagi banyak pihak yang berkepentingan dalam pembangunan manusia. Hanya sebagian kecil lembaga pemerintahan dan mitranya seperti lembaga swadaya masyarakat dan entitasnya sejenis sudah terbiasa dengan pola pembelajaran ini. Â Yang dimaksud pembelajaran disini adalah kesatuan proses mendaur ulang kegagalan dan keberhasilan dengan cara melakukan evaluasi/refleksi terhadap program, merekomendasi, menindaklanjuti, dan implementasi, monitor proses dan kembali mengevaluasi hasil hingga mencapai keberhasilan. Â
Dalam setiap siklus program pembangunan di masyarakat mereka juga mengutamakan idealisme pemberdayaan warga. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan penilaian program (mis. bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi dlsb.) Â masyarakat dilibatkan dan diupayakan menjadi pelaku utama proses pembangunan desa/RT atau wilayahnya. Di dunia LSM dan lembaga sejenis idealisme pemberdayaan masih kental karena itu sudah menjadi inti keberadaan dan bagian mekanisme akuntabilitas entitas tersebut. Artinya mereka akan hilang kepercayaan publik ketika mengabaikannya. Â Mirip seperti lembaga pendidikan yang kehilangan idealismenya dan dipandang sebelah mata oleh publik.Â
Oleh karena itu kepemimpinan daerah yang lebih mengedepankan prestasi politik dan kariernya tanpa idealisme utama yaitu mentransformasi masyarakat terlebih dalam krisis mentalitas saat ini akan tergerus oleh waktu dan hilang senyap. Kepemimpinan yang hanya sekedar mencari kredit dan reward demi mempertahankan posisinya semata tidak akan menyentuh hati warganya dan mentransformasinya. Â Dan tidak mengherankan jika kualitas kepemimpinan di tingkat RT/RW juga terabaikan karena investasi dan kegiatan inovasi membangun karakter dan kompetensi mereka tidak pernah ada proses pembelajaran. Â Mendaur ulang pengalaman masa lalu termasuk kegagalan dan mereplikasi keberhasilan.Â
Sungguh amat mendesak memiliki kepemimpinan baik formal maupun informal yang memiliki sikap tangguh dan tulus menghadapi tantangan pembangunan manusia yang memang dampak atau hasilnya tidak segera terlihat. Program yang menyasar pada mentalitas dan karakter manusia di kepulauan Nusantara yang pluralis. Â Suatu karya yang kompleks dan amat berat yang perlu dimulai dilingkungan terkecil seperti RT/RW. Â Sikap kepemimpinan yang tidak lekas puas dengan melakukan perubahan yang bersifat fisik di lingkungan masyarakat. Melainkan pemimpin yang berkomitmen kuat pada proses panjang dan perjuangan berat untuk merubah mentalitas masyarakat adalah faktor penentu sebuah perubahan.
Indikasi pergantian RT/RW yang berlangsung terus dengan tradisi program tanpa kreatifitas dan berkisar hanya pada masalah fisik dan fasilitas atau infrastruktur adalah bukti tidak terjadinya sebuah proses pembelajaran. Â Pengalaman masa lalu atau periode sebelumnya tidak diolah atau didaur ulang menjadi pelajaran hari ini. Kegagalan dan kesuksesan masa sebelumnya tidak dianggap sebagai nilai penting untuk pelajaran masa kini. Â Semuanya sudah mengakar kuat dimasyarakat sehigga amat dibutuhkan tenaga besar dan upaya radikal untuk merubahnya. Â Harus ada kesadaran dan terobosan baru untuk mau belajar dan menjadi warga serta masyarakat pembelajar. Â Oleh karena itu revolusi mental sungguh amat mendesak dan urgen mulai di tingkat RT/RW Â demi Indonesia Jaya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H