Mohon tunggu...
Mual P Situmeang
Mual P Situmeang Mohon Tunggu... Relawan - Pekerja Sosial

Spesialis Pelibatan Masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Candu Baru 'Adiksi Media Sosial'

5 April 2022   16:00 Diperbarui: 5 April 2022   16:06 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adiksi (foto jbklutse.com)

Penggunaan media sosial sudah menjadi konsumsi harian masyarakat dunia. Banyak sekali kegunaan platform teknologi komunikasi berbasis internet ini bagi orang dewasa dan juga anak remaja. Pengguna dewasa dapat memperluas relasi, berbagi pengalaman dan keahlian, meyakinkan portfolio diri dalam karir, menambah wawasan dan pengetahuan, serta dapat berhubungan dengan siapapun disetiap saat. Sedangkan buat anak remaja bermanfaat  untuk mendukung pendidikan dan pergaulannya.

Namun jika digunakan secara berlebihan atau salah memanfaatkannya medsos dapat mempengaruhi kesehatan mental. Penggunaan waktu terlalu lama di media sosial mengakibatkan adiksi.  Sama seperti pemakaian obat terlarang. Medsos menyediakan rasa nyaman otak. Bahkan lebih kuat dari pada kecanduan merokok atau alkohol.   

Adiksi (foto jbklutse.com)
Adiksi (foto jbklutse.com)

Hasil penelitian mengungkapkan pengguna medsos menerima semacam zat adiktif atau rangsangan nyaman (reward) di bagian syaraf otak penghasil dopamin (hormon senang). Ia akan terpacu meningkatkan produk dopamin saat beraktifitas di medsos.  Contoh: pada platform medsos seperti FB atau Instagram ada rewarding  semacam notifikasi like, komen, atau reaksi emoticon. Ini diserap syaraf otak yang memicu produk dopamin sehingga pengguna merasa senang. 

Di sosial media reward melimpah tak terbatas. Ia seperti bentuk perhatian orang walau pengguna hanya berupaya minimal saja. Pada lingkungan seperti itulah otak tertarik sehingga pengguna media sosial bergairah mendapatkan like, komen, dan emoticon.

Menikmati rangsangan senang beraktifitas di media sosial membuat pengguna semakin sering berkutat pada aktifitas tersebut hingga mempengaruhi interaksi dan pola relasi muka dengan muka dengan lingkungannya. Mereka mengisolasi diri dari dunia nyata dan merasa medsos prioritas aktifitas sosialnya.

Pengguna yang sudah pada tahap kecanduan berisiko tinggi menjadi depresi, cemas, kesepian, dan menyakiti diri.  Selalu merasa dirinya ada yang kurang dan hilang karena membandingkan dirinya dengan image yang tampil keren, kece, dan selalu bahagia  di medsos. 

Semakin terhanyut di media sosial,  tingkat risiko kesendirian dan kecemasannyapun meningkat. Sebaliknya menurut hasil penelitian kelompok  yang suka berinteraksi sosial dengan tatap muka kesehatan mental mereka baik dan lebih sejahtera. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun