Di tengah nuansa nan fitri ini kami bersama Pengasuh, Murobbi/ah, (Pembina Mahasantri) Musyrif/ah (Pendamping Mahasantri) Ma'had Sunan Ampel Al-Aly, UIN Maliki Malang dapat bersilaturrahmi ke Pondok Pesantren Riyadlul Jannah, setelah siangnya studi banding ke Akademi Angkatan Laut (AAL) Bumimoro, Kota Surabaya dalam rangkaian Pengembangan Sumber Daya Musyrif/ah (PSDM) Masa Jihad 2014-2015.
Sore menjelang malam tepatnya ba'da maghrib kami tiba di pesantren yang terletak di Jalan Raya Pacet Mojokerto ini. Selanjutnya sholat berjama'ah di Masjid Pesantren yang namanya merupakan hadiah dari Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki Al-Hasani, Ulama Besar Makkah Al-Mukarromah. Sebenarnya aktivitas pesantren sudah dimulai dengan dengung suara mengaji tak kurang 350 santri, tetapi mereka minggir sejenak sambil menunggu rombongan kami yang berjumlah 250 orang dengan armada 5 bis ini menunaikan sholat maghrib dengan jama' taqdim dengan sholat isya'.
Kemudian pengurus mengarahkan kami menuju aula pesantren untuk mengikuti silaturrahmi bersama pengasuh pesantren yang berdiri tahun 1980-an ini. Aula Pesantren Enterprenurship ini memang tak begitu luas tapi begitu nyaman dengan berlantaikan kayu. Sambil menunggu beliau dengan duduk lesehan dipimpin oleh Muhibb Alhamidi, kami mendendangkan syair Sholawat Irfan yang merupakan Maha Karya Almarhum KH. Muhdlor, Pendiri Lembaga Pendidikan Tinggi Pesantren Luhur, Malang yang lokasinya tak jauh dari kampus Ulul Albab ini,
Tak Lama kemudian hadirlah beliau, KH. Mahfudz Syaubari, MA sebagai pengasuh pesantren yang berarti Taman Surga ini. Dengan berpakaian baju koko dan songkok putih beliau menerima kami. Terlihat secara sekilas tampak begitu bersahaja, tetapi ternyata keilmuwannya sungguh luar biasa.Alumni Pesantren Abuya Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-Hasani memulai pengajian dengan mengupas sekilas problem bangsa ini. Beliau membagi masyarakat indonesia dalam 3 bagian ; Militer (TNI, Polri), Akademisi (Sarjana, Guru, Kyai, Profesor) dan Masyarakat Makro (pedagang, tukang becak, petani, dll) dan mayoritasnya adalah kalangan masyarakat makro. Dan dari 220 juta Penduduk Indonesia hampir 90% adalah muslim tetapi masih banyak berada dalam garis kemiskinan harta maupun moral.
Dari sini muncul keperihatinan mendalam dalam diri suami dari 4 Isteri yanghidup rukun dalam satu atap pada carut marut bangsa ini yang telah mulai banyak kehilangan kultur budaya. Imam Al-Ghozali pernah berkata "Disebut sebuah bangsa jika punya kultur dan jika hilang hilang maka akan hancur"
Bangsa ini begitu lama dijajah oleh Bangsa Asing khususnya Belanda (1596-1942), dan penjajahan ini sampai saat ini masih kita rasakan. Bolehlah kita katakan kita merdeka tetapi sesungguhnya bangsa ini masih belum benar-benar merasakan nikmat kemerdekaan ini. Ambil contoh dalam perekonomian negeri dengan APBN 1800 Triliyun ini sumbangan pajak hanya mencapai 300 Triliyun/tahun selebihnya adalah pajak dari perusaahan asing yang sebenarnya keuntungan mereka bisa mencapai 7000 Triliyun/ Tahun. Kekayaan bangsa ini begitu melimpah karena berada di wiliyah strategis dengan dilintasi garis khatulistiwa, kesuburan tanah dan potensi perikanan yang begitu besar. Tapi sayang sumber daya alam ini belum dapat kita nikmati sendiri, terbukti dengan begitu banyaknya perusahaan raksasa asing macam Freeport di Papua, NewMont di Nusa Tenggara atau perusahan kilang minyak asing yang menjajah sumber daya alam negeri ini. Sehingga benar jika bangsa ini dikatakan “Tikus Mati Di Lumbung Padi”
Beliau juga begitu prihatin pada stigma masyrakat bangsa ini yang lebih memilih menjadi buruh meski digaji tinggi daripada berusaha mandiri. Hal itu berlatar pada sejarah bangsa ini yang telah ditanamkan sejak lama oleh Belanda dimana pendidikan Ala Belanda yang bersifat individual dan kapitalistik dan kemudian dianut oleh founding father negeri ini, dan selanjutnya justru pendidikan bangsa ini yang dirintis oleh pesantren seperti Pondok Pesantren Sidogiri sejak tahun 1740 M yang menanamkan pada budi luhur dan budaya sosial kemasyarkatan yang seakan diabaikan. Banyak masyarakat Indonesia yang bersekolah di luar negeri tetapi enggan kembali pada bumi pertiwi ketik menapaki kesuksesan di negeri orang, seperti BJ. Habibi, mantan Presiden Ke-3 RI ilmuwan besar yang belajar di Jerman atau Sri Mulyani, mantan menteri Keuangan yang saat ini menjabat Direktur Bank Dunia di New York Amerika Serikat, meski tak sepenuhnya kita bisa menyalahkan mereka.
Hal itu yang kemudian menjurus pada perpolitikan ini yang katanya kerakyatan tetapi justru menjadi sebuah kekuasaan. Contohnya pada perhelatan pemilu bupati saja seorang calon harus mengeluarkan dana kampanye sebanyak sampai 40 miliyar. Hal itu mustahil didapat tanpa sokongan pengusaha hitam, menigat gaji bupati dan tunjangannya jika dikumpulkan hanya bekisar 8 miliar selama masa bakti 5 tahun dia menjabat. Dan budaya ‘wani piro’ ini telah mengakar urat sampai pada tingkat pemilihan presiden. Dan hasilnya pemimpin negeri ini hanya menjadi menjadi boneka dari yang punya duit.
Padahal jika ditilik dalam sejarah Rosululloh SAW mengajarkan kaya, sebagaimana Rosululloh mengawini Siti Khodijah yang menjadi pemuka saudagar Quraisy dengan mas kawin 200 ekor unta atau jika dikalkulasikan seharga 42 Miliar !!! Selain itu dalam hal thoriqoh Syaikh Abdul Qodir Jailani juga lebih menyukai seorang alim yang berpenampilan baik daripada seorang ahli ibadah yang berpakaian lusuh. begitu juga Syaikh Hasan As-Syadzili, pendiri thoriqoh Syadziliyah seorang sufi yang juga kaya raya juga tak pernah mengajarkan seorang muslim harus menjadi miskin.
Berangkat dari keprihatinan inilah yang kemudian menginspirasi beliau untuk bangkit dari keterpurukan dan mendayagunakan umat islam. Berbekal pinjaman dari mas kawin dari istrinya senilai 10 ribu rupiah beliau melanglang buana ke sumatera, kalimantan dalam rangkain tafakkur alam, dan akhirnya Allah menjawab doa kerja keras ini. Saat ini Kyai yang berusia sekitar 60-an ini memiliki beragam usaha, mulai dari pertanian organik yang pemasarannya dengan merek “GreenLife” dapat menjangkau supermarket besar seperti Giant, Superindo, Hypermarket di Kota Surabaya, restoran baik kecil maupun high class seperti Warung Wong Solo di Sidoarjo atau Restoran M2M, Vila-Vila di sekitar Pacet, Air Minum Kemasan dengan merk “RIJAN” dan sebagainya yang laba perbulannya mencapai 3 Miliyar Rupiah.