Film yang diangkat dari novel dengan judul yang sama karya Dee Lestari ini, mengisahkan tentang roti dan upaya untuk membangkitkan kembali kejayaan sebuah toko roti tua, Tan de Bakker, yang pernah sangat sukses dan melegenda. Madre adalah biang roti. Biang roti yang dibuat sang leluhur, seorang artisan ahli roti, dan disimpan bertahun-tahun dalam kulkas tua antik. Akhirnya diwariskan kepada keturunan terakhir keluarga pengusaha roti tersebut, Tansen. Cerita yang menarik, gambar yang cantik, penyutradaraan yang apik, ditambah akting para pemain yang ciamik membuat film berdurasi 2 jam ini jadi terasa singkat. Saya tidak mempunyai kapasitas sebagai reviewer film. Jadi, saya hanya ingin share beberapa hal dari film yang disutradai Benni Setiawan ini. Hal pertama adalah tentang passion. Bagaimana sekumpulan orang yang mempunyai passion yang kuat terhadap roti, bisa membangkitkan usaha toko roti yang sempat mati bertahun-tahun. Bagaimana passion yang kuat bisa menarik Tansen, seorang surfer yang cinta kebebasan dan tidak mengerti sama sekali tentang roti dan bisnisnya, berkutat mengelola sebuah toko dan pabrik roti. Bagaimana passion yang kuat tidak bisa digadaikan dengan uang berapa pun; tergambar saat Tansen menolak tawaran dari sebuah franchisor toko roti besar yang hendak membeli Madre berikut toko Tan de Bakker. Passion is energy. Feel the power that comes from focusing on what excites you. -Oprah Winfrey [caption id="attachment_865" align="aligncenter" width="470" caption="Diambil dari http://www.gogirlmagz.com/"][/caption] Hal lain, bagaimana Madre, sang biang roti dalam stoples besar ini, diperlakukan dengan sangat istimewa oleh orang-orang tua, mantan karyawan perusahaan roti tersebut. Mereka masih setia menunggu ‘turunnya’ seorang ‘utusan’ yang akan memimpin usaha roti tersebut, dan akan mengembalikan kejayaan Tan de Bakker. Hingga si Tansen menulis dalam blog-nya: “Mereka memperlakukan Madre sangat manusiawi. Saya jadi belajar, bahwa kita harus memperlakukan segala sesuatu dengan manusiawi.” Dueenggg…! Hmm… memperlakukan segala sesuatu dengan manusiawi. Kita sebagai manusia, malah kadang suka bersikap tidak memperlakukan manusia secara manusiawi. Apalagi memperlakukan yang bukan manusia. Sebagai orang tua atau pasangan, kita sering memaksakan kehendak kita tanpa mau mengerti kemauan yang sebenarnya dari anak kita atau pasangan kita. Sebagai pemimpin, kita kadang menganggap bawahan kita hanya sebagai robot, sebagai eksekutor kemauan kita. Sebagai pemilik usaha, kita kadang menganggap karyawan hanya sebagai alat pencetak omzet, dan sebagai salah satu komponen biaya. Dan banyak hal-hal lain. Begitu seringnya kita, secara sadar atau tidak, melakukan hal-hal yang kita tidak mau orang lain melakukan hal itu kepada kita. . Do not do unto others as you expect they should do unto you. Their tastes may not be the same. George Bernard Shaw . Depok 2 April 2013 Muadzin F Jihad Founder Semerbak Coffee Twitter @muadzin
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H