Mohon tunggu...
Muadzin Jihad
Muadzin Jihad Mohon Tunggu... wiraswasta -

Entrepreneur | Founder & CEO Ranah Kopi | Founder Semerbak Coffee | Father of 3 | Coffee-Book-Movie-Photography-Graphic Design Freak | Blogger | Author "Follow Your Passion" | www.muadzin.com | Instagram & Twitter @muadzin

Selanjutnya

Tutup

Money

Setelah Semerbak Coffee: Bali dan Gayo 1/2

31 Juli 2013   12:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   09:47 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sambungan dari tulisan Setelah Semerbak Coffee. Setiba di Bali, ternyata kafe Kopi Kultur tidak seperti yang saya bayangkan. Kafe ini termasuk tidak megah dan tidak wah. Malah bisa dibilang sederhana. Juga tidak terletak di lokasi strategis, malah bisa dibilang terletak di pelosok. Tapi kafe ini ramai dikunjungi orang. Saya dan isteri juga heran kok orang-orang tahu kalau di sini ada kafe. Kami akhirnya bisa berkenalan dan ngobrol dengan Mas @AyipBali. Dari dia baru kami tahu kenapa kafe ini bisa ramai. Kafe ini memposisikan diri menjadi kantung kreatif (creative hub). Tempat berkumpul beberapa komunitas dan individu yang concern dengan ide-ide tertentu. Selain bertemu dengan Mas Ayip, kami juga bertemu dengan dua orang pendiri Kopi Kultur lainnya, Dicky Lopulalan dan Rai Bangsawan. Nah, Bang Rai ini adalah seorang petani, juga petani kopi. Dia membina beberapa kelompok tani penggarap kebun kopi di Bali. Akhirnya kami ngobrol lama dan diskusi panjang dengan Bang Rai ini. Dia 15 tahun membina petani kopi dalam hal pola tanam, teknologi pengolahan organik, pengemasan, manajemen, dan lain-lain. Bang Rai punya pengalaman dan skill itu, karena sempat bekerja 5 tahun di perusahaan agribisnis di Amerika, sebelum akhirnya memutuskan pulang ke Bali untuk membangun kampungnya. Banyak sekali hal yang kami dapat dari ngobrol dengan Bang Rai, diantaranya adalah kenyataan bahwa biji kopi kualitas terbaik Indonesia justru lebih banyak yang diekspor dibanding yang dikonsumsi lokal. Jadi kopi untuk konsumsi domestik adalah kopi grade kesekian, sisa setelah diekspor. Salah satu sebabnya adalah kenyataan bahwa sebagian besar masyarakat kita terbiasa meminum kopi dalam sachet, baik kopi instan atau kopi bubuk tubruk. Mungkin ini akibat gencarnya bombardir iklan sejak dulu dari para pemain kopi raksasa, yang rata-rata bermain kopi sachet. Kopi pada dasarnya adalah sehat dan menyehatkan. Jika dikonsumsi secara baik dan benar. Sudah banyak terbukti dengan penelitian dan kesaksian orang-orang yang mengalaminya sendiri. Tapi kopi seperti apa yang sehat dan menyehatkan itu? Tentu saja kopi yang freshly brewed. Secangkir kopi dari hasil seduhan langsung biji kopi yang baru digiling. Jika kopi masih berbentuk biji, kita bisa tahu bagaimana kualitasnya, minimal dari bentuk fisiknya. Misalnya, bentuk bijinya utuh, ukuran bijinya besar atau kecil, tidak pecah, tidak busuk, tidak hangus, dan lain-lain. Jika kopi sudah  berbentuk bubuk, kita tidak bisa tahu kandungan kualitas kopi di dalamnya. Jadi Bang Rai mengajak kami untuk sama-sama ikut menyebarkan pesan ini dan mengedukasi masyarakat agar terbiasa dengan minum kopi yang sehat, baik dan benar. Sehingga konsumsi lokal kopi grade atas juga meningkat. [caption id="attachment_957" align="aligncenter" width="470" caption="Bersama Mas handoko dan teman-teman Akber Bali di Kopi Kultur."] [/caption] Kami juga mendiskusikan tentang nasib petani kopi. Dia cerita, di Bali, dan umum juga terjadi di daerah lain, petani kopi, begitu juga petani komoditas lain, kadang tidak pernah mencicipi hasil kebunnya sendiri. Dia ilustrasikan, saat musim panen tiba, semua hasil dibeli tengkulak, yang kita semua tahu bayarannya pasti tidak besar. Petani kopi pulang ke rumah sambil membawa tas kresek berisi seliter beras dan beberapa bungkus kopi sachet yang dia beli di warung. Padahal biji kopi hasil kebun mereka dijual berharga tinggi melalui tangan tengkulak dan trader, apalagi jika diekspor. Ironis ya? Karena itulah dia membina kelompok-kelompok tani agar mereka bisa mandiri dan skillful dan berpengetahuan tinggi, serta membantu distribusi hasil produk mereka agar tidak tergantung kepada tengkulak. Karena sepak terjangnya ini, sudah pasti dia dimusuhi pihak-pihak yang terusik kepentingannya. Bahkan beberapa kali dia menerima ancaman keras dari mereka. Buat saya pribadi, mengunjungi Kopi Kultur, dan bertukar pikiran dengan pendiri-pendirinya, terutama Bang Rai, adalah sebuah pencerahan yang luar biasa. Ditambah lagi diskusi dengan Mas Handoko di acara Akber Bali dan selama kami di sana. Kebetulan jam keberangkatan pesawat kami sama dan kami menginap di hotel yang sama. Beliau mengingatkan tentang story telling yang akan disampaikan bisnis baru saya nantinya. Itu harus benar-benar kuat, original dan genuine. Hari terakhir di Bali, saya dan isteri sempatkan berkunjung ke Museum Blanco di Ubud. Museum ini mengumpulkan lukisan Antonio Blanco yang terkenal itu, sejak saat beliau muda sampai lukisan terakhirnya. Buat saya yang bukan penikmat lukisan, bisa mempelajari sejarah dari seorang mastro berkebangsaan Spanyol yang begitu cintanya dengan Indonesia -terutama Bali- ini sesuatu yang luar biasa.

Satu trademark sang maestro ini adalah, lukisan-lukisannya itu menyatu dan satu tema dengan bingkainya. Pelukis-pelukis lain mungkin hanya memperlakukan frame sebagai bingkai lukisan, pemanis, atau penghias. Tapi Antonio membuat bingkai itu satu kesatuan dengan lukisan. Jadi bingkai tidak bisa dipisahkan dari lukisannya. Bingkai sama penting dengan lukisannya. Unik memang. Bahkan sang guide menceritakan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk mengerjakan bingkai, jauh lebih lama dibanding lukisannya sendiri. Pesan yang didapat dari kunjungan ke Museum Blanco adalah mungkin kira-kira sama dengan yang disampaikan Mas Handoko; dalam bisnis, seperti lukisan Blanco, bisnis itu sendiri dengan cara mengemas dan menyampaikannya kepada masyarakat itu sama pentingnya. Tidak bisa dipisahkan. Itulah tiga hari kunjungan ke Bali yang sekarang saya bisa bilang merupakan investasi termurah untuk pencarian jati diri bisnis saya. Saya benar-benar bersyukur mengambil keputusan spontan untuk berangkat ke Bali. Bersambung ke Bagian-2.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun