"Pengacara itu urusan menang kalah,
Politik itu berhubungan soal trik,
Filosof itu perihal Akal,
Sufi selalu menghasilkan intuisi,
Penyair itu membutuhkan rasa."
Itu kata pak tua, yang saya temui malam itu. ia bercerita tentang dirinya masa muda. Oleh sebab kebiasaan pertanyaan favorit saya kepada setiap orang tua sarat pengalaman. "Bagaimana masa muda bapak dulu?"
Sambil duduk diatas kursi kayu jati yang mengkilat. Sambil menikmati kopi dan beberapa rebusan ubi jalar, kacang tanah juga nyalak batang rokok kretek yang puntungnya sudah menggunung diatas piring kecil. Ia terus menceritakan soal teori kehidupan yang sudah ia lakukan setengah hidupnya.
Dalam kedangkalan pemahamanku, selama perbincangan itu, ia selalu mengkritik perihal Anti-Esensialisme. Misalnya; tidak ada yang universal dalam kehidupan atau realitas adalah proses evolusioner dan bertujuan. Juga berulang dia menjalaskan terkait karakter dasar dari realitas adalah individualitas. Manusia sebagai individu yang sadar-bebas dan bertanggung jawab, dia adalah the maker of his own destiny (pembuat nasibnya sendiri), dan oleh karena itu, pembebasannya adalah urusannya, tidak bersandar pada prinsip-prinsip mapan atau norma yang dipegangi oleh sekolompok manusia.
Saat itu saya memahami apa yang diingini pepatah pak tua itu. Sehingga saat itu saya memancing pernyataan, supaya perbincangan malam itu tidak menjadi searah.
"Hidup itu absurd"
"Makna lama kehidupan telah menjadi tidak relevan bagi kita; kita membuatnya bermakna dengan cara kita sendiri. Setiap individu harus menemukan makna hidup dalam pengalamannya sendiri."
Saat itu bandung utara sedang dingin, putaran lagu abah iwan berjudul melati dijayagiri terdengar semu. Atau mungkin suasananya seperti itu. Dengan sorot kuning lampu dikombinasikan hijaunya pohon-pohon mangga dan bunga. Sengaja saya berkunjung kesana, karena sudah lama tak sowan ke serambi rumahnya. Selalu suka dan rindu kesana. sambil merampok makna hidup yang sudah dialaminya.
Momen kebangkitan kesadaran manusia itu diilustrasikan oleh pak tua melalui interpretasinya tentang peristiwa kejatuhan manusia, yakni ketika Adam "diturunkan" dari surga ke bumi. Dalam interpretasi Pak tua, Adam bukanlah nama diri, tetapi sebuah konsep yang mewakili seluruh manusia. Oleh Pak tua surga diinterpretasikam sebagai suatu keadaan primitif ketika manusia tidak merasakan desakan kebutuhan; sehingga praktis manusia tidak berhubungan dengan lingkungannya.
Bumi bukanlah penjara bagi manusia karena dosa asal. Bumi adalah tempat tinggal dan sumber keuntungan bagi manusia. Manusia bukanlah orang asing di bumi. Oleh pak tua, Adam diinterpretasikan sebagai sikap manusia pertama untuk membuat pilihan secara merdeka. Kejatuhan manusia dari surga bukan berarti kehilangan moral, tetapi perolehan moral. Manusia bangkit dari kesadaran sederhana kepada kesadaran yang lebih intens. Dengan demikian mengetahui Tuhan berarti mengetahui diri sendiri di dalam dunia yang diciptakan oleh Tuhan.
Lalu Saya pamit pulang dengan membawa kemandirian, personalitas, dan karaketeristik. Dengan saya yang terus memahami kesendirian yang esensial. Hanya saya dan primavera menembus dingin bandung malam itu. "Nikmat, sakit, kecewa itu adalah khas milikku; mungkin dokter tahu aku sakit, namun ia tak dapat merasakan sakitku"
Perjalanan batin harus tetap dijalani dengan kebebasan dan kreatifitas (berakhirnya risalah dan konsep ijtihad).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H