Mohon tunggu...
Muhammad Tabina Zachary
Muhammad Tabina Zachary Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Live the life.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Starbucks dan Ilusi Solidaritas: Memahami Kontradiksi Kapitalis dalam Isu Boikot

13 Juni 2024   11:41 Diperbarui: 13 Juni 2024   11:41 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cristina Matuozzi/Sipa USA 

Bayangkan Anda sedang menikmati secangkir kopi hangat di sebuah kafe yang tampak ramah dan nyaman. Barista tersenyum menyambut, suasana hangat dan aroma kopi memenuhi ruangan. Namun, di balik atmosfer yang menenangkan ini, ada cerita yang jauh lebih kompleks dan gelap. Starbucks, raksasa kopi yang mendominasi dunia, kerap memanipulasi citra publiknya untuk menyembunyikan praktik-praktik yang kontroversial. Dari luar, perusahaan ini tampak seperti pendukung lokal dan komunitas pekerja, tetapi kenyataannya, ada narasi yang berbeda: upaya pemberangusan serikat pekerja yang berani menyuarakan solidaritas terhadap Palestina.

Dalam beberapa tahun terakhir, gerakan boikot terhadap produk-produk yang terafiliasi dengan Israel telah mendapatkan momentum, dengan Starbucks menjadi salah satu target utama. Perusahaan ini menggunakan strategi cerdik untuk guilt-tripping konsumen, membuat mereka merasa bersalah jika mendukung boikot yang dianggap merugikan pekerja kecil. Namun, kita perlu membuka mata terhadap realitas sebenarnya di balik tampilan luarnya. Boikot terhadap Starbucks adalah respons terhadap kebijakan korporat yang eksploitatif dan anti-serikat, bukan serangan terhadap para barista yang bekerja keras setiap hari.

Starbucks berusaha memanipulasi citranya dengan menonjolkan para barista sebagai wajah perusahaan, seolah-olah gerakan boikot adalah serangan langsung terhadap para pekerja yang berada di garis depan. Ini adalah strategi guilt-tripping yang khas dari kapitalisme culas, di mana konsumen dibuat merasa bersalah karena mendukung gerakan boikot yang dianggap merugikan pekerja kecil. Padahal, inti dari gerakan boikot ini adalah kritik terhadap kebijakan perusahaan di tingkat manajerial dan kepemilikan, bukan terhadap pekerja biasa.

img-20240613-wa0003-666a4f7dc925c414566d8502.jpg
img-20240613-wa0003-666a4f7dc925c414566d8502.jpg

Perlu dicatat bahwa boikot terhadap Starbucks tidak semata-mata karena perusahaan ini memiliki afiliasi dengan Israel, tetapi juga karena kebijakan internalnya yang anti-serikat. Menurut laporan dari berbagai sumber, Starbucks telah terlibat dalam praktik pemberangusan serikat pekerja, yang di antaranya adalah mereka yang menunjukkan solidaritas dengan perjuangan Palestina (sumber: The Guardian). Hal ini menunjukkan bahwa kontradiksi utama dalam kasus ini adalah vertikal, antara kelas pekerja dan manajemen perusahaan, bukan horizontal antara konsumen dan barista.

Lebih jauh lagi, kita perlu memahami bahwa boikot bukanlah serangan terhadap individu pekerja, melainkan bentuk tekanan terhadap kebijakan perusahaan. Dalam hal ini, pernyataan bahwa boikot merugikan pekerja kecil menjadi tidak relevan, karena inti dari boikot adalah mendesak perubahan kebijakan perusahaan agar lebih adil dan manusiawi. Sebagai konsumen, kita memiliki kekuatan untuk memilih di mana dan bagaimana kita membelanjakan uang kita, dan ini bisa menjadi alat yang efektif untuk mendorong perubahan.

Dalam kasus Starbucks, boikot dapat dilihat sebagai upaya untuk menekan perusahaan agar memperbaiki kebijakan-kebijakan yang merugikan pekerja dan mendukung rezim yang dinilai tidak adil. Ini adalah bentuk solidaritas global yang menghubungkan perjuangan hak asasi manusia di berbagai belahan dunia. Konsumen yang sadar akan konteks ini tidak akan mudah terjebak dalam retorika perusahaan yang berusaha memanipulasi perasaan bersalah mereka.

Pada akhirnya, boikot terhadap Starbucks harus dipahami dalam konteks yang lebih luas sebagai bagian dari perjuangan melawan ketidakadilan global dan eksploitasi korporat. Ini bukan sekadar tentang memilih di mana kita membeli kopi, tetapi tentang mendukung gerakan yang lebih besar untuk hak asasi manusia dan keadilan sosial. Sebagai konsumen yang berdaya, kita memiliki tanggung jawab untuk melihat melampaui retorika perusahaan dan membuat keputusan berdasarkan prinsip-prinsip moral yang kita yakini. Dengan demikian, boikot terhadap Starbucks bukan hanya tindakan politik, tetapi juga ekspresi solidaritas dengan mereka yang tertindas oleh kekuatan kapitalis global.

Sumber Rujukan:

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun