Sudah 12 tahun yang lalu semenjak terakhir saya ke Bromo. Bulan Desember tahun lalu, saya kembali lagi dengan kesan yang berbeda, atau mungkin 12 tahun adalah waktu yang cukup panjang untuk menciptakan kesan baru saya akan alam Bromo?
Mungkin saya bisa memulai dengan cerita saya ketika saya dan suami saya berangkat pada hari Jumat sore menuju stasiun. Ya, seperti bias ajika kami akan ke luar kota, kami pasti singgah dulu ke rumah ibu saya, untuk memudahkan kami memesan taksi. Taksi datang, tepat pukul 4 sore, dan kereta kami berangkat. Namun, harapan kami untuk sampai in time setidaknya 1 jam sebelum kereta berangkat pupus ketika supir taksi memilih jalur yang macet, seskipun saya masih bisa memaklumi karena waktu tersebut adalah waktu pulang kerja. Alhasil, 25 menit sebelum kereta berangkat kami masih terjebak macet. Akhirnya kami turun dari taksi, tetap membayar tentunya, dan memesan ojek online. Alhamdulillah kami sampai di stasiun 10 menit sebelum keberangkatan.
Kami menggunakan kereta cepat Gajayana. Jarak leg room lumayan lega untuk kami bisa mengubah-ubah posisi kaki kami, mesti tetap dalam keadaan duduk tentunya. Semalaman kami tidur di kereta, sampailah kami di Malang pukul 7 pagi. Kami menggunakan taksi online yang mudah didapat. Jarak hotel kami dengan stasiun pun cukup dekat, namun karena masih pagi dan belum bisa check-in kami hanya menitipkan tas di resepsionis lalu memesan taksi online untuk sarapan.
Ijen Kopitiam adalah pilihan kami untuk sarapan pada hari pertama di Malang. Menu-menu yang disajikan adalah masakan khas Singapura. Cukup aneh memang, kami jalan-jalan ke Malang, tapi makanan yang kami cari adalah makanan Singapura. Bukan itu, tapi memang kami ingin sekali sarapan bubur, dan tempat makan ini menyediakan bubur ayam 'ala Singapura yang seperti bubur ayam Hongkong. Bubur ayamnya lumayan enak dan membuat kami kenyang untuk pagi itu.
Menunggu waktu check in, kami mengunjungi Kampung Heritage Kajoetangan. Kampung Heritage Kajoetangan adalah pemukiman penduduk dengan bangunan rumah era Belanda di gang-gang sempit. Yang membedakan, dinding-dinding rumah tersebut di warnai dengan warna cerah dan sebagian warga menjadikan rumahnya kafe sederhana yang beberapa di desain menarik. Keluar dari Kampung Kajoetangan, kami kemudian duduk sebentar sambil menikmati es krim jadul di kafe Roti Oen. Lalu, karena sudah waktu makan siang, kami ke pasar lama Malang untuk menikmati rawon Haji Ridwan yang --walaupun lokasinya di pasar---tapi rasa masakannya autentik sekali.
Setelah kenyang kami kembali ke hotel untuk check-in. Kami beristirahat dan makan malam di hotel. Pukul 1 malam kami dijemput oleh supir mobil jeep dari agen travel yang kami gunakan. Di mobil jeep tersebut hanya saya, suami saya, dan juga supir merangkap guide kami di Bromo. Perjalanan kami tempuh selama 2 jam.
Turun dari jeep untuk menaiki tangga yang cukup lumayan jumlahnya, kami disambut dengan suhu udara yang dingin, saat itu di ponsel saya menunjukkan bahwa suhu udara saat itu adalah 12 derajat celcius. Kami menggunakan jaket tebal jadi udara dingin bisa kami tolerir. Sesampai di atas Bukit Cinta, kami menyewa tikar dan menunggu hingga sunrise. Namun sayangm gerimis mulai turun dan kami tidak mendapatkan momen sunrise tersebut. Kabut mengelilingi kamu dan para penanti momen sunrise saat itu. Tapi kami bersyukur, bahkan kabut pun membuat kami merasakan fenomena tersendiri bagi kami yang jarang ke gunung.