Mohon tunggu...
Diana Audekana
Diana Audekana Mohon Tunggu... Freelancer - seorang pengembara yang berusaha untuk tetap berjalan

menulis untuk membunuh bosan :)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Identitas Bangsa Indonesia Diterapkan Oleh Masyarakat Jepang

15 Juli 2014   17:41 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:16 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_347835" align="alignnone" width="420" caption="Berjejer rapi (sumber: dokumentasi pribadi)"][/caption]

Kekaguman saya pada Jepang bertambah ketika saya menyaksikan sendiri bagaimana tertibnya orang Jepang saat berkendara.

[caption id="attachment_347836" align="alignnone" width="433" caption="(sumber: dokumentasi pribadi)"]

14053904731312536201
14053904731312536201
[/caption]

Pengendara di Jepang sangat menghargai dan mendahulukan hak pejalan kaki. Hal ini saya alami sendiri ketika saya dan beberapa teman akan menyeberang jalan di Tokyo. Ketika itu lampu sudah hijau, kami berhenti sejenak untuk menunggu lampu kembali merah. Kebetulan pula saat itu ada supir taksi yang hendak lewat. Tak disangka, supir taksi tersebut memilih berhenti dan memberi kesempatan pada kami untuk lewat. Saya juga melihat ada pengendara sepeda yang tetap berhenti ketika lampu sedang merah. Padahal saat itu jalanan sepi dan tidak ada pengendara lewat. Hal ini juga sangat sering saya alami ketika berada di Kumamoto yang notabene merupakan kota kecil. Di Jepang, pejalan kaki adalah raja jalanan.

Kembali ke Indonesia,
Di negeri ini, untuk melintas jalan itu sulitnya bukan main apalagi di jalan satu arah. Tidak ada satu pun mobil yang mau mengalah. Kebetulan saya sering menyeberang jalan di depan fakultas saya yang kebetulan jalan satu arah. Saya terpaksa menunggu jalan sedikit sepi atau berlari untuk menyeberang jalan. Bahkan teman saya ada yang pernah terserempet kendaraan saat mau melintas.

[caption id="attachment_347837" align="alignnone" width="432" caption="Yang nyebrang cuma 1 orang. (sumber: dokumentasi pribadi)"]

14053906101108178305
14053906101108178305
[/caption]

[caption id="attachment_347856" align="alignnone" width="436" caption="Selain bersih dan teratur, marka jalannya pun terlihat jelas. (sumber: dokumentasi pribadi)"]

14053950871236325021
14053950871236325021
[/caption]

[caption id="attachment_347857" align="alignnone" width="441" caption="Ini di Kumamoto Castle. Jalan yang hanya beberapa meter saja dilengkapi zebra cross. (sumber: dokumentasi pribadi)"]

1405395172114307324
1405395172114307324
[/caption]

[caption id="attachment_347859" align="alignnone" width="443" caption="(sumber: dokumentasi pribadi"]

14053952371955224988
14053952371955224988
[/caption]

Di Indonesia, kenderaan yang paling besar adalah raja jalanan. Mereka tidak mau mengalah dan selalu ugal-ugalan. ‘Postur’nya yang besar tidak menyurutkan niat mereka untuk mengambil hak kendaraan yang lebih kecil. Bukankah itu sangat membahayakan pengguna jalan yang lain? Menurunkan penumpang juga serampangan, seringkali saya harus terburu-buru turun dari bis karena bisnya udah gak sabaran mau jalan ckckckck. Kendaraan umum lainnya seperti angkot di Indonesia juga kerapkali asal-asalan menurunkan penumpang, ada yang tiba-tiba minggir padahal di belakangnya masih ada motor. Kendaraan pribadi juga seperti itu, merasa dewa. Hobi banget nglakson kayak jalanan itu punya nenek moyangnya. Di Jepang, saya tidak pernah mendengar suara klakson. Klakson hanya dibunyikan saat keadaan amat genting untuk menghindari bahaya.

[caption id="attachment_347834" align="alignnone" width="480" caption="Jika ada polisi yang jaga, kondisi jalan di Indonesia bak di luar negeri :D (Sumber: detik.com)"]

14053898181545138439
14053898181545138439
[/caption]

Bukan hanya di jalan, di kehidupan sehari-hari juga sarat akan nilai positif.
Ketika sedang workshop pada hari terakhir, Fukao-san (supervisor dari Jepang) sibuk menanyakan pemilik pulpen yang ditemukan olehnya. Padahal itu hanya pulpen loh. Saya menemukan sekali lagi nilai moral dan bahkan nilai Islam di negara ini.

Di Jepang, saya menemukan banyak sekali nilai-nilai yang merupakan jati diri bangsa. Sopan santun, saling menghargai, mendahulukan kepentingan kelompok daripada perorangan adalah sedikit dari sekian banyak identitas bangsa Indonesia yang mulai luntur. Kini anggapan bahwa Indonesia negara yang kaya akan tata krama hanya merupakan aturan tua yang tidak lagi mendarah daging dalan jiwa bangsa. ^^

“Mari patuhi peraturan untuk berhenti di belakangg garis Stop.Ingat, pada garis tersebut terdapat hak penyeberang jalan.” - TMC Polda Metro.

Jika Kompasianers punya pengalaman yang serupa atau sedang menjalankan aksi nyata untuk mengubah Indonesia, ayo share di @cerahindonesia dengan hashtag #100cerita

Dimulai dari diri sendiri,
ayo kita ubah Indonesia :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun