Mohon tunggu...
Muhammad Thoha Hanafi
Muhammad Thoha Hanafi Mohon Tunggu... profesional -

dengan bismillah....sesungguhnya Kasih Sayang itu hanya Kepunyaan Allah SWT

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Sosiologika Hukum Formiil Kasus Praperadilan BG

23 Februari 2015   00:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:42 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Banyak hikmah yg dapat menjadi pelajaran dari kasus praperadilan BG: Pertama hakim tidak berhak menolak perkara. Ingatlah kasus petinggi orba, ketika perkaranya sudah masuk pengadilan dan melalui sidang pertama tetapi akhirnya dikembalikan ke Penuntut Umum untuk mendapatkan SKP3. Kalau kita kembali pada hukum formiil KUHAP, maka perkara yg sdh masuk pengadilan dan dilakukan pemeriksaan dlm sidang, tdk ada alasan hukum utk kembali atau dikembalikan lagi kepada penuntut umum, bahkan dikeluarkan SKP3, bukan? Preseden ini adalah salah satu bentuk hukum baru yang berlaku ekslusif, terbatas pada hal yang tidak umum. Menolak perkara atau mengembalikan perkara setelah diperiksa dalam sidang peradilan jauh lebih melanggar hukum, karena melanggar UU Kekuasaan Kehakiman, bukan hanya Kode Etik Hakim. Walaupun hukumnya tidak atau blm ada maka hakim harus menemukan hukum tsb. Menolak perkara yg diajukan setiap warganegara sama saja melanggar HAM atas persamaan di depan hukum yg diakui konstitusi. Menolak perkara atau mengembalikan perkara yg sudah lengkap penuntutannya pada Penuntut Umum selama ini tidak dikenal dalam hukum formiil dan tidak ada orang (praktisi hukum, akademisi, pakar dan seterusnya) yang memperdebatkan masalah dilanggarnya KUHAP saat peradilan petinggi Orba tsb dilangsungkan.

Kedua, dalam KUHAP yg menjadi obyek praperadilan salah satunya adalah sah tidaknya seseorang ditangkap atau dilakukan penangkapan oleh penyidik. Seseorang yg ditangkap tentu telah melalui proses penelitian penyidik ttg delik pidana yg dilakukan. Dan tidak ada orang yang ditangkap oleh penyidik, kecuali telah melakukan perbuatan pidana. Pertanyaannya apakah orang yg ditangkap penyidik tsb bukan suspect atau tersangka pidana? Menguji sah tidaknya penangkapan bukankah sama saja menguji sah tidaknya penetapan tersangka oleh penyidik? Jgn lupa praperadilan adalah pengawasan yang dilakukan diluar institusi penyidik yg tdk memeriksa pokok perkara. Tentu pula terminologi tersangka tdk sama dgn terminologi terdakwa yg menjadi bagian dlm proses pemeriksaan pokok perkara. Sehingga bisa jadi dalam praperadilan sah tidaknya penangkapan diputus tidak sah, namun bukan berarti pokok perkaranya GUGUR.

Ketiga,penegak hukum, apapun namanya bukanlah malaikat keadilan yg lepas dr berbagai kepentingan selain kepentingan penegakan hukum itu sendiri. Kesewenang-wenangan atau abuse of power penyidik haruslah dapat diawasi secara ketat, agar HAM setiap warganegara tidak menjadi sebuah pertaruhan. Banyak kasus seseorang diubah statusnya dari saksi menjadi tersangka, atau yang tidak jelas proses penetapan statusnya tsb hanya dilatarbelakangi oleh kepentingan non hukum dan melanggar hukum. Jadi lembaga pengawasan dlm bentuk praperadilan yg selama ini tdk mencakup hal-hal yg melindungi kepentingan HAM scr masif dlm penegakan hukum harus selalu diperkuat dan tdk kaku.

Keempat, zaman dan kepentingan manusia selalu mendahului eksistensi hukum. Padahal hukum itu seharusnya hidup dan mengimbangi perkembangan dinamika dan sosiologika manusia. Sehingga hukum yg kaku akan selalu merugikan manusia itu sendiri.

Kelima, mengapa terobosan hukum yg seharusnya mampu melindungi prinsip perlindungan HAM, bukan malah dimatikan hanya karena kepentingan diluar hukum itu sendiri. Kasus BG dalam praperadilan seharusnya dapat diuji ulang dengan mempradilankan kasus AS dan BW yg jadi tersangka. Kita akan melihat apakah hukum yg timbul akan menjadi sebuah pencerahan hukum atau hanya kepentingan diluar hukum.
Keenam,kasus ini menambah daftar panjang urgensi pembaharuan KUHAP, terutama berkaitan dgn obyek praperadilan yg skr menjadi perdebatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun