Rumah Adat Batak, Harus Lebih Terbuka Menerima Tamu (pbase.com)
Menjadi orang Batak (Toba) itu harus siap dengan status sosial ganda. Sebagai “raja”, “sejawat”, dan “pelayan”. Istilah hukum adatnya sebagai “hula-hula” (raja), “dongan tubu” (sejawat), dan “boru” (pelayan). Ketiganya dikenal sebagai segitiga “Dalihan Na Tolu” (DNT, Tiga Batu Tunggu).
Struktur segitiga itu pada dasarnya adalah struktur kekerabatan. Proses pembentukanya begini. Contoh saja. Poltak Manurung menikah dengan Bulan . Maka keluarga besar (Poltak) Manurung menjadi “boru” (bride taker) dan keluarga besar (Bulan) Panjaitan menjadi “hula-hula” (bride giver). “Dongan tubu” masing-masing kelompok itu adalah kerabat semarga mereka.
Jika dikenakan pada sebuah komunitas “huta” (kampung), maka “marga raja” yang membuka, menguasai, dan memerintah “huta” otomatis menjadi “Raja Huta” sekaligus “hula-hula”. Juga sekaligus berstatus “suhut ni huta” (Tuan Rumah). Lalu semua marga lain yang mengambil isteri dari “marga raja” itu otomatis menjadi “boru” (marga penumpang). “Dongan tubu” adalah kerabat semarga masing-maasing di dalam dan luar kampung.
Struktur DNT inilah yang menyokong tegaknya masyarakat Batak. Seperti tiga batu tungku menyokong periuk di atasnya. Salah satu batu hilang, maka periuk akan rubuh. Setiap individu Batak memiliki tiga status itu sekaligus pada dirinya.
Relasi segitiga antar “hula-hula”, “dongan tubu”, dan “boru” itu dipandu oleh norma berikut: “Somba marhula-hula; Manat mardongan-tubu; Elek marboru.” Artinya, kurang-lebih, “Hormat pada ‘hula-hula’; Solider pada ‘dongan tubu’; Kasih pada ‘boru’.”
Dari tiga status itu, status “hula-hula” dan “boru”-lah yang paling menonjol bagi orang Batak. “Hula-hula” adalah “raja”, sedangkan “boru” adalah “pelayan”. Yang “somba” (sembah, hormat) pada “hula-hula” adalah “boru”. Dan yang “elek” (bujuk, persuasi, kasih) terhadap “boru” adalah “hula-hula”.
“Hula-hula” (raja) adalah sumber “pasu-pasu” (berkat immateril) bagi “boru”, agar beroleh kesejahteraan materil dalam kehidupannya. Karena itu “hula-hula” harus “disembah”, dirajakan. Agar sudi memberkati “boru”.
Sedangkan “boru” adalah sumber “gogo” (kekuatan materil dan fisik), yang diharapkan mendukung “hula-hula”-nya. Karena itu “hula-hula” harus mengasihi “boru”-nya, agar mendapat dukungan secara ikhlas.
Relasi “hula-hula” dan “boru” semacam itu dirumuskan dalam frasa pepatah, “durung do boru, tomburan hila-hula”. Arti harafiahnya: “boru” adalah tangguk ikan, “hula-hula adalah piring sajian lauk ikan”. Kurang lebih artinya, “boru” adalah sumber rejeki duniawi bagi “hula-hula”. Karena itu “boru” harus disayang, agar sudi melayani “hula-hula”.