Kasus pemindahan warga Pasar Ikan Luar Batang, Penjaringan ke Rusunawa Marunda dan Rawabebek sejak 11 April 2016 langsung disambut debat pro- dan kontra- yang terbilang sengit di media sosial.
Debat semacam itu sudah sewajarnya. Itu gejala sehat. Pertanda demokrasi masih hidup di negeri ini.
Namun, jika argumen yang dimajukan sudah mengandung kesalahan (fallacy) yang disengaja, maka itu bukan lagi debat yang sehat. Tidak sehat karena kesalahan itu dimaksudkan menyesatkan publik kepada simpulan tertentu.
Dua kesalahan yang terkandung dalam argumen-argumen debat itu adalah pengajuan dua fakta palsu yaitu "penggusuran" dan "manusia perahu".
Kelompok "kontra-" khususnya telah membuat sebuah argumen keliru yaitu (1) Pemda DKI melakukan "penggusuran" terhadap warga Luar Batang, Penjaringan, dan (2) penggusuran tersebut menyebabkan munculnya "manusia perahu" di perairan Pasar Ikan Luar Batang.
Dua artikel "serupa tapi tak sama" dari Musni Umar di Kompasiana bisa mewakili keseluruhan argumen keliru tersebut. Artikel yang saya maksud adalah "Penggusuran Pasar Ikan Luar Batang Ciptakan "Manusia Perahu" (K.15/4/2016) dan "Habis Digusur Terbitlah Manusia Perahu di Luar Batang" (K.16/4/2016).
Saya akan gunakan artikel Musni Umar sebagai rujukan. Berseberangan dengan dia, saya hendak tunjukkan bahwa tidak ada " penggusuran" dan "manusia perahu" di Luar Batang.
Bukan “Penggusuran” tapi “Relokasi”
Apa yang terjadi di Luar Batang bukanlah penggusuran melainkan relokasi warga. Secara sosiologis jelas itu dua proses sosial yang berbeda.
Penggusuran adalah proses pemindahan paksa warga dari suatu lokasi tanpa solusi penyediaan lokasi baru. Tidak ada kompromi. Pokoknya, harus pindah dari lokasi itu. Kemana pindahnya, terserah warga. Itu bukan urusan penggusur.
Relokasi adalah proses pemindahan warga dari satu lokasi dengan solusi penyediaan lokasi baru. Ada kompromi di sini. Warga dipindahkan ke lokasi baru dan memperoleh fasilitas dampingan serta sarana dan prasarana sosial-ekonomi.