Ini sebongkah batu.Ambillah!Lalu lemparkan tepat ke kepala Ahok yang “keras” itu.Dia pantas menerimanya.
Betapa tidak.Pernyataan kontroversial “apa salahnya bir” belum lagi kering dari bibirnya.Sekarang dia menabur kontoversi baru pula, dengan usulan “lokalisasi dan sertifikasi PSK”.Alasannya, untuk memudahkan pengawasan dan pen-tobat-an PSK.
Kontan ragam protes, celaan, dan hujatan berhamburan dari berbagai penjuru ke muka Ahok, Gubernur DKI Jakarta itu.Intinya, tidak setuju, karena itu berarti melegalkan pelacuran, melegalkan a-moralitas.
Moralitas Ahok-pun dipertanyakan. Orang yang super kreatif lalu berpikir, jangan-janganAhok akan mendirikan BUMD PT Wahana Tata Syahwat (WTS) sebagai implementasi gagasannya.Itu pasti bisnis yang sangat menggiurkan.
Tapi, kalau bukan “lokalisasi dan sertifikasi PSK”, adakah solusi lain yang efisien, efektif, dan bermoral?Itulah pertanyaan Ahok kepada semua pihak, terutama penentangnya.
Tak ada jawaban inovatif.Cuma jawaban klise.Misalnya, solusi “pembinaan dan partisipasi masyarakat’ yang diusulkan Triwisaksana dari PKS.Itu solusi kuno ala Kemensos, tak pernah bisa menghilangkan gejala pelacuran dari lingkungan sekitar kita.
Jadi, kalau tak bisa mengusulkan solusi yang lebih efisien dan efektif dibanding “lokalisasi dan sertifikasi PKS”,urungkan dulu niat melemparkan sebongkah batu ke kepala Ahok.
Selanjutnya, mari dinginkan kepala dan tenangkan hati, lalu duduk bersama merembukkan masalah ini.Siapa tahu ketemu jalan keluarnya.
Begini Cara Pikir Seorang Gubernur Jakarta
Mari kita mulai dengan memeriksa “isi kepala” Ahok selaku Gubernur DKI Jakarta.Menyimak berbagai pernyataannya di berbagai media, terkesan Ahok cenderung berpikir realistis soal PSK ini.Menjadi heboh karena ia melontarkan pikiran realitis ke tengah-tengah masyarakat yang cenderung munafik.
Menurut Ahok, pertama, “pelacuran adalah sampah masyarakat”.“Sampah” itu, kata Ahok, harus dikendalikan, jangan dibiarkan bertebaran kemana-mana menularkan ragam penyakit menular seksual (herpes, sifilis, gonore, klamidia, genital wart, hepatitis, dll) dan ragam penyakit sosial (a-moral, a-sosial, dll.).
Cara pengendaliannya, menurut Ahok adalah “lokalisasi” dan “sertifikasi” PSK.Dengan cara begitu, aktivitas pelacuran lebih mudah dikendalikan sekaligus diminimalisir skala dan intensitasnya, melalui program-program berorientasi transformasi identitas sosial.
Kedua, menurut Ahok, gejala pelacuran hanya mungkin diminimalisir melalui “pertobatan”.“Pertobatan” di sini bukan semata-mata dalam pengertian rohaniah.Sebab kalau begitu, nanti solusinya cukup dengan membangun ruang-ruang ibadat dan mengerahkan para tokoh agama ke “lokalisasi”, untuk mempertobatkan para pelacur (dan pelanggannya) di sana.
Itu cuma melanjutkan cara kuno para Nabi yang tak pernah berhasil dari dulu, sekarang, sampai nanti.
“Pertobatan” yang dimaksud Ahok, saya kira, adalah “transformasi identitas” pada diri para pelacur.Bukan saja pertobatan rohaniah (tataran ide/nilai)yaitudari “binal” menjadi “saleh”.Tapi bersamaan dengan itu juga perubahan identitas sosial (tataran tindakan/ kegiatan) yaitu dari “pekerja seks komersil” (PSK) menjadi “pekerja/pengusaha komersil”(PPK).
Mengikuti cara pikir Ahok, maka titik berangkat pertobatan itu adalah “pelacuran”, sebuah identitas sosial dengan prestise (kepuasan rohaniah/bathiniah) rendah kendati mungkin prestasinya (produktivitas ekonomi) bisa saja (relatif) tinggi.
Melalui proses transformasi identitas, para “pelacur” itu kelak akan menemukan identitas sosial sebagai “pekerja/ pengusaha komersil” dengan “prestise” dan “prestasi” yang setara.Selanjutnya dialektika “prestasi-prestise” itu akan mengantarkannya ke tataran yang lebih tinggi.
Sampai di sini, jelas tampak bahwa Ahok ternyata berpikir linear, lurus-lurus saja.Dia pikir, kalau “pelacuran” ditata-tertibkan, maka akan lebih mudah “mempertobatkan” para PSK menjadi PPK. Menurut Ahok, untuk saat ini, itulah solusi “terbaik” untuk mengendalikan pelacuran di DKI Jakarta.
Benarkah begitu?Mari kita teruskan diskusi tapi sebongkah batu untuk kepala Ahok itu tolong disimpan dulu.
Begini Cara Pikir Seorang Warga Jakarta
Sebagai salah seorang warga biasa Jakarta, ijinkan saya menyampaikan pikiran, dengan cara membedah sedikit cara pikir Ahok tadi.Anggap ini bagian dari upaya mencari solusi pelacuran di DKI Jakarta.
Pertama, tentang pernyataan Ahok bahwa “pelacuran adalah sampah masyarakat”.Nah, Ahok menyebut “pelacuran”, bukan “pelacur” (saja).Itu berarti seluruh pelaku aktivitas pelacuran adalah “sampah masyarakat”.Mereka adalah pelacur, pelanggan, mami, penjaga/preman, sampai pemilik warung remang-remang dan rumah kos mewah.
Jadi, kalau Ahok bicara tentang “pertobatan”, maka lingkupnya bukan personal lagi tetapi sosial.Dengan ini, saya hendak katakan bahwa “pelacuran” itu bukan sesuatu yang bersifat individual lagi melainkan komunal. Atau, katakanlah semacam “komunitas pelacuran”.
Karena itu, mustahil Ahok bisa menekan tingkat pelacuran jika hanya mempertobatkan PSK saja.“Anggota” komunitas pelacuran lainnya, yang tak dipertobatkan, dengan cepat akan menciptakan lagi pelacur-pelacur baru.
Kedua, tentang pernyataan Ahok bahwa solusi realistis saat ini adalah “lokalisasi dan sertifikasi PSK”.Ada dua masalah dengan tawaran solusi ini.
Masalah pertama, masyarakat DKI Jakarta diwakili oleh DPRD pasti akan resisten setengah mati pada usulan ini.Dan itu sudah terbukti dari pernyataan ketaksetujuan dari sejumlah anggota DPRD DKI dan tokoh masyarakat/agama.Tanpa persetujuan DPRD, tak mungkin Ahok merealisasikan gagasan itu.
Jadi, tampaknya Ahok akan sia-sia saja menunggu persetujuan DPRD atas gagasan itu.Sebab sementara ia sia-sia menunggu, bahkan sampai habis masa jabatannya, jumlah pelacur baru mungkin sudah bertambah 1,000 orang lagi, dan jumlah penderita PMS bertambah 2,000 orang lagi.
Masalah kedua, yang lebih mendasar, andaikan karena “salah makan obat” lalu DPRD menyetujui gagasan Ahok, maka bisa dipastikan “lokalisasi dan sertifikasi PSK” akan melipat-gandakan tingkat pelacuran di DKI Jakarta.Mengapa bisa begitu?
Ada dua penjelasan di sini.Penjelasan pertama, ketika lokalisasi Kramat Tunggak dulu masih buka, apakah kegiatan pelacuran di luar lokalisasi itu hilang?Faktanya pelacuran “liar” tetap merebak di berbagai lokasi “strategis”.
Begitu pula, misalkan Ahok melokalisir (sekaligus sertifikasi) PSK di sebuah apartemen, katakanlah Apartemen “Wahana Tata Syahwat” sebagai wahana “pelacuran legal/formal”, maka dengan cepat ruang-ruang kosong pelacuran “illegal/informal” dengan cepat akan terisi kembali oleh komunitas pelacuran baru.
Jadi, apa hasilnya? Ahok akan menghadapi dua masalah besar pelacuran:“legal/formal” dan “illegal/informal”.
Penjelasan kedua, legalisasi/formalisasi (lokalisasi/sertifikasi) pelacuran akan merangsang arus migrasi pelacur atau calon pelacur dari berbagai daerah ke Jakarta.Alasannya, menjadi pelacur di Jakarta “aman” (dilindungi hukum) dan “nyaman” (ada fasilitas pemukiman, fasilitas sosial, fasilitas pembinaan/pendidikan, dll.).
Jadi, misalkan ada 100 orang pelacur “legal/formal” yang berhasil “dipertobatkan”, bertransformasi dari PSK menjadi PPK, maka sudah ada 1,000 pelacur “iligal/informal” yang bersaing memperebutkan ranjangnya di Apartemen “Wahana Tata Syahwat”.
Nah, kalau sudah begitu, berkurangkah pelacuran di Jakarta? Lalu bagaimana alokasi APBD untuk “pertobatan pelacur” itu akan dipertanggungjawabkan?
Mungkin ada orang yang mengatakan pikiran saya terlalu pesimistik.Sebab, bukankah akan dibuat Perda sebagai dasar hukum untuk mengendalikan dampak (negatif dan positif) implementasi “lokalisasi dan sertifikasi PSK” itu.
Tentu saja, tapi ingat juga fakta ini. KUHP tak menghilangkan kejahatan, UU Tipikor tidak menghilangkan korupsi, dan UU Pornografi tak menghilangkan pornografi. Jadi, misalkan DPR mengamandemen UU Pornografi menjadi UU Prostitusi, hal itu tak akan menghilangkan pelacuran.
Karena itu, sampai titik ini, saya harus katakan ketak-setujuan pada gagasan “lokalisasi dan sertifikasi PKS” yang diajukan Ahok.
Tapi, tunggu dulu, tetap simpan sebongkah batu itu, ini belum titik.Saya tak setuju kalau gagasan itu diwujudkan dalam bentuk “organisasi bisnis pelacuran” yang dipusatkan di sebuah komplek/bangunan, misalnya Apartemen “Wahana Tata Syahwat”. Jumlah kepala di Indonesia 250 juta, masa ga kepikir cara lain sih?
Kalau Saya Gubernur Jakarta
Sebelum Ahok melotot menuding jidat saya seraya berteriak “Lu ada solusi gak!”, baiklah saya urun rembug.Untuk itu saya akan coba tempatkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Nah, kalau saya Gubernur Jakarta, maka dalam rangka pemecahan masalah pelacuran, pertama, saya terlebih dahulu akan menegakkan paradigma “pengendalian”.Dasar pemikirannya, pelacuran tak mungkin dihilangkan tapi bisa ditekan sampai ambang toleransi.Untuk itu, saya akan mengkonsepsikan “pelacuran” sebagai bentuk “pencemaran lingkungan sosial” yang harus dikendalikan sampai tingkat minimal.
Kedua, untuk memberi dasar hukum tindakan “pengendalian pelacuran” itu, saya akan membuat Perda Pengendalian Pelacuran di Wilayah DKI Jakarta.Subtansi Perda adalah menetapkan “pelacur” sebagai sebuah “pekerjaan legal/formal”, karena itu harus dijalankan secara terbuka (seperti sektor privat lainnya).
Pelacuran ditetapkan sebagai salah satu bentuk kegiatan ekonomi formal, mungkin termasuk “ekonomi kreatif”(?) Artinya, harus ada tenaga kerja tetap (PSK formal), ada jajaran pimpinan perusahaan, ada perijinan, ada kantor/bangunan tempat beroperasi, ada kewajiban pajak, dan lain-lain. Aktivitas pelacuran di luar ketetapan Perda itu dinyatakan sebagai bentuk “pelanggaran hukum” dan harus dipidana penjara.
Implikasi Perda ini, tak perlu ada lokalisasi khusus, tapi cukup dengan melegalkan rumah-rumah prostitusi yang faktanya sudah ada di Jakarta.Tak ada alasan sulit untuk mengidentifikasi rumah-rumah seperti itu, karena semua orang juga tahu ada apa di Jl. Tebet Utara I, misalnya.Dengan legalisasi itu, maka pemilik rumah kos otomatis ditetapkan sebagai pemilik/pengelola “rumah pelacuran”.Artinya, resmi, dilindungi hukum.
Ketiga, untuk kepentingan pengendalian jumlah dan pentobatan atau transformasi identitas sosial, maka dilakukan sertifikasi PSK (saya setuju dengan Ahok untuk urusan satu ini).Sertifikat PSK itu memuat data demografis dan kesehatan yang wajib diperbaharui secara berkala.PSK wajib menggantungkan sertifikatnya di dinding tempat kerja, seperti layaknya SIUP restoran.
Dan yang terpenting, sertifikasi hanya diberlakukan kepada PSK dengan KTP Jakarta.Kalau ada PSK dengan KTP non-Jakarta berkeliaran di kota ini, maka jelas dia “melanggar hukum” dan bisa langsung dipidana penjara, sebelum dikembalikan ke daerah asalnya.
Keempat, setiap orang yang berkunjung ke “rumah pelacuran” wajib mengisi buku tamu (ini terinspirasi dari almarhumah Deudeuh), dengan mencantumkan secara lengkap nama, alamat, nomor telepon, dan maksud kunjungan.Jika “buku tamu” tak terisi sebagaimana mestinya, maka pemilik “rumah pelacuran” dituntut pidana korupsi dengan tuduhan upaya penggelapan pajak, misalnya.
Kelima, fungsi pentobatan/transformasi identitas sosial PSK ditetapkan sebagai salah satu fungsi pokok Lurah di Jakarta.Karena itu, kinerja pengendalian pelacuran ditetapkan sebagai salah satu indikator pokok kinerja Lurah.
Fungsi pentobatan itu dijalankan dengan menyelenggarakan secara rutin acara siraman rohani, pelatihan ekonomi kreatif, pembekalan motivasi (kita banyak punya motivator, bukan?), dan lain-lainKalau kinerja Lurah di bidang ini rendah (skor ≤ 5 dalam skala 0-10), langsung pecat.
Keenam, Pemda DKI menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga keuangan dan perusahaan-perusahaanuntuk mengusahakan modal usaha atau lapangan kerja bagi PSK yang bertransformasi menjadi PPK. Pemda di sini melakukan fungsi bridging and channeling.
Dengan lima langkah itu, saya belum tahu apakah tingkat pelacuran bener-benar bisa ditekan sampai tingkat minimal di Jakarta.Soalnya saya bukan Gubernur DKI Jakarta yang punya wewenang untuk menjalankannya.Entahlah, kalau Ahok mau melakukannya.
Dan tentang sebongkah batu itu, tak usahlah dilemparkan ke kepala Ahok, kecuali Anda seorang Nabi suci.Saran saya, coba periksa cermat lagi itu batu, siapa tahu ada kandungan akiknya, lumayan, bukan?(*)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI