Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Presiden dan GNPF, Satu Peristiwa Simbolik dengan Dua Makna

28 Juni 2017   16:26 Diperbarui: 5 Juli 2017   06:49 2516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: screen capture KOMPASTV

"Silaturahmi" antara Presiden Jokowi dengan tokoh-tokoh GNPF hari Minggu 26 Juni 2017 lalu, atau di Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1438 H, di Istana Merdeka memiliki makna penting. Sebab mustahil juga Pak Presiden sudi meluangkan waktu bertemu para tokoh itu untuk sesuatu yang tak penting.

Lantas apa makna penting "silaturahmi" itu, dan apakah maknanya sama bagi kedua belah pihak, Presiden dan GNPF?

Secara sosiologis, pertanyaan itu dapat dijawab dengan menempatkan "silaturahmi" tersebut dalam kerangka interaksi simbolik. Dua pihak yang berinteraksi adalah Presiden dan GNPF. Simbol utama dalam interaksi itu adalah "silaturahmi". Simbol inilah yang dimaknai oleh masing-masing pihak, sesuai dengan pemosisian dirinya terhadap "lawan" interaksinya.

Untuk menghindari keribetan teoritik, saya langsung saja menganalisa pemaknaan masing-masing pihak terhadap simbol "silaturahmi" itu.

Pertama, dari pihak Presiden Jokowi, "silaturahmi" itu dimaknai sebagai pernyataan dukungan GNPF terhadap kebijakan pemerintahan Jokowi. Itu sangat jelas dan tegas diungkapkan Mensesneg Pratikno. Tak bisa ditafsir lain. Juga diamini oleh para tokoh GNPF yang bersilaturahmi dengan Presiden Jokowi.

Pemaknaan seperti itu sangat penting pada posisi Presiden Jokowi. Sejak Aksi 411 dan 212 tahun 2016, GNPF tampil sebagai representasi kelompok Islam "minoritas garis keras" yang selalu menyuarakan kritik keras, melalui aksi-aksi massal di seputar Istana Merdeka, kepada Presiden Jokowi. Kendati sejatinya isu yang disuarakan "hanya" seputar tuntutan "penjarakan Ahok karena telah menista agama Islam". Ditambah, belakangan, isu "jangan kriminalisasi ulama".

Dengan pemaknaan "silaturahmi" seperti itu, maka dukungan kelompok Islam pada pemerintahan Jokowi menjadi "bulat". Baik kelompok "mayoritas moderat" maupun kelompok "minoritas garis keras" kini sama-sama mendukung. Memang masih ada kelompok Alumni 212 tapi, sebagaimana terbukti dari Aksi Bela Ulama 96 (9/6/2017) yang " melempem", kelompok ini sejatinya telah kehilangan relevansi dan urgensinya. Terlebih setelah Ahok menerima dengan ikhlas vonis penjara 2 tahun atas kesalahannya "menista agama Islam".

Implikasi lanjut pemaknaan tersebut, tidak akan ada lagi aksi massa oleh GNPF untuk "memaksakan kepentingan" kepada Presiden Jokowi. Jika ada kepentingan atau kritik yang harus disuarakan, maka Presiden Jokowi selalu membuka pintu dialog. Garis bawahi, dialog, bukan aksi massa seperti aksi 411 dan 212.

Lantas, dari pihak GNPF, apakah "silaturahmi" itu dimaknai sebagai "pernyataan dukungan terhadap kebijakan pemerintahan Jokowi"? Sayangnya, bukan itu makna utamanya bagi GNPF, melainkan terutama dimaknai sebagai "langkah awal rekonsiliasi dengan Presiden Jokowi".

Dengan memaknainya sebagai "langkah awal rekonsiliasi", maka GNPF menempatkan kedatangannya ke Istana Merdeka dalam suatu kerangka "konflik dengan Pemerintahan Jokowi". Suatu kerangka yang invalid, karena Pemerintahan Jokowi tidak pernah beranggapan seperti itu. Tidak ada konflik dengan GNPF, atau dalam hal ini dengan "sekelompok rakyat sendiri", sehingga tidak ada relevansi rekonsiliasi.

Konflik dengan Presiden Jokowi itu hanya penilaian sepihak GNPF. Penilaian yang mengental terutama setelah Imam Besar FPI Rizieq Shihab dilaporkan berbagai pihak ke Kepolisian atas berbagai dugaan pelanggaran hukum, yang antara lain berbuah status tersangka kasus "chat pornografi" baginya. Proses ini kemudian dimaknai sebagai "kriminalisasi ulama", dan dicurigai sebagai wujud "balas dendam" dari Pemerintahan Jokowi, yang dikhawatirkan akan menyasar ulama-ulama tokoh inti GNPF. Ini sebenarnya lebih sebagai "paranoia", karena sampai hari ini hanya seorang ulama yang sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus hukum, yakni Rizieg Shihab saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun