Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Plasa Kecamatan, Potensi Ruang Publik yang Belum Digarap di Jakarta

30 September 2015   21:12 Diperbarui: 30 September 2015   21:27 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Situasi Plasa di Kantor Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan (Sumber: IDjakarta.com)

 

Ingat Hari Habitat Dunia (HHD), yang akan diperingati  5 Oktober 2015 nanti, ingat kepadatan tinggi lingkungan pemukiman kami. Kami tinggal di wilayah Kelurahan Pela Mampang, Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Kecamatan ini, sebagai sebuah habitat manusia, tergolong sangat padat.

Bayangkan, menurut hasil Sensus Penduduk 2010 kepadatan penduduk di Kecamatan Mampang Prapatan mencapai 18,238 jiwa/km2. Angka ini jauh di atas angka kepadatan rata-rata Jakarta Selatan yaitu 12,995 jiwa/km2.

Ada semacam “pemisahan halus” di wilayah ini, sebagaimana teramati di kelurahan tempat kami tinggal. Warga “pendatang” umumnya tinggal di rumah-rumah gedongan serba lega sepanjang kiri-kana jalan-jalan utama pemukiman. Atau di dalam koloni-koloni super eksklusif yang disebut town house.

Sedangkan warga “asli”, umumnya etnis Betawi, tinggal di balik rumah-rumah gedongan, atau di ujung-ujung jalan, membentuk komunitas-komunitas yang disebut “kampung”. Menyatu di situ, dengan status penyewa rumah atau kamar, adalah para migran sirkuler yang mayoritas berasal dari wetan, umumnya etnis Sunda dan Jawa.

Kami tinggal di salah satu dari banyak kampung di Pela Mampang. Bukan di barisan rumah gedongan atau di town house.
Konotasi kampungdi Jakarta adalah padat, kumuh, dan miskin. Dan itu benar belaka. Kami, atau tepatnya keluarga saya, adalah saksi sekaligus pelaku yang mengalami kondisi itu setiap hari.

Di kelurahan tempat kami tinggal tidak ada ruang publik. Itu jika ruang publik dimengerti sebagai tempat yang disediakan oleh pemerintah untuk dimanfaatkan masyarakat secara cuma-cuma.

Akibatnya, warga kampung kami tak punya tempat untuk sejenak membebaskan diri (katarsis) dari tekanan psikis akibat kepadatan populasi, sergapan kekumuhan, dan himpitan kemiskinan.

Lalu, sebagai bentuk ekspresi “pembebasan diri”, terjadilah ragam bentuk keributan sosial di kampung kami dan sekitarnya. Kendati bisa dipahami, ekspresi semacam itu jelas bersifat merusak. Krena itu, diperlukan solusi untuk mengatasinya.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun