Mari kita kembali sejenak kepada tiga artikel terdahulu.Pada artikel pertama (#001), yang mengulas batasan penelitian kualitatif, saya antara lain menegaskan“peneliti kualitatifmempelajari beragam hal dalam ajang alaminya, mencoba memperolehpemahaman yang masuk akal atau menafsirsuatu gejala menurut makna-makna yang dikenakan masyarakat terhadapnya.”
Lalu pada artikel kedua (#002) saya menyampaikan asumsi realitas sosial sebagai bentukan atau buah intersubyektivitas tineliti-peneliti. Karena itu, saya garis-bawahi, realitas sosial “senantiasa bersifat subyektifdan majemuk, sesuai subyektivitas dan kemajemukan partisipan penelitian.”
Pada artikel ketiga (#003), ketika mendiskusikan sifat-sifat penelitian kualitatif, saya menegaskan antara lain bahwa peneliti kualitatif, melalui proses empati dan keterlibatan, menjalin interaksi dua-arah dengan tineliti, dalam rangka “memahami subyek tineliti dari sisi pandang tineliti sendiri, atau sebagaimana subyek tineliti memahami dirinya sendiri.”
Apa benang merah yang menyambungkan ketiga paragraf di atas secara konsisten?
Subyektivitas Tineliti
Jika diperhatikan baik-baik, ketiga paragraf yang berturut-turut menyangkut batasan, asumsi, dan sifat penelitian kualitatif tersebut merujuk pada satu isu yang sama sebagai benang merahnya yaitu “pemahaman subyektif tineliti”.Tepatnya, itulah pumpunan (focus) penelitian kualitatif.
Pemahaman subyektif tineliti tentang diri dan dunianya itulah pintu masuk menuju pemahaman yang valid tentang realitas sosial.
Bila merujuk pada karya klasik Pelto dan Pelto (1978), “subyektif” di sini berarti “melihat dari sudut pandang tineliti sebagai subyek penelitian”. Ini disebut pandangan “orang dalam”(emic).Hubungan antara peneliti dan tineliti di sini dirumuskan sebagai hubungan “subyek - subyek”.Bukan hubungan “subyek - obyek” seperti pada penelitian kuantitatif.
Pertanyaan kunci penelitian kualitatif dengan demikian adalah “bagaimana pemahaman subyektif sang subyek atas dirinya sendiri.”Ia tidak mempertanyakan “bagaimana pandangan obyektif peneliti atas diri obyek penelitian”. Pertanyaan terakhir ini menunjuk pada pandangan “orang luar” (etic), dan ini ciri khas penelitian kuantitatif.
Sebuah contoh mungkin bisa memperjelas pemahaman.Ada seorang pengemis yang tiap hari beraksi di traffic-light Pancoran, Jakarta Selatan. Secara obyektif, seorang peneliti kuantitatif mengukur tingkat kebahagiaannya menggunakan indeks kebahagiaan Biro Pusat Statistik. Hasilnya diperoleh skor 45 sehingga disimpulkan ia tak bahagia.Lalu seorang peneliti kualitatif menggali penilaian subyektif pengemis itu tentang kondisi hidupnya.Kesimpulannya, berdasar pengalaman dan pemahaman subyektifnya, pengemis itu menilai hidupnya baik-baik saja.
Apa implikasi perbedaan hasil penelitian itu? Misalkan berdasar kesimpulan penelitian kuantitatif tadi lalu pengemis itu ditransmigrasikan ke Kalimantan, maka dalam tempo enam bulan kemudian, setelah masa jatah hidup gratisan selesai, kita akan menemukan pengemis itu kembali beraksi di traffic-light Pancoran.
Perspektif Tindakan Sosial
Dengan menyebut “aspek subyektif perilaku manusia” sebagaipumpunan, menjadi jelas bahwa penelitian kualitatif berkiblat pada perspektif tindakan sosial. Dalam disiplin sosiologi, perspektif ini pertama kali dikembangkan oleh Max Weber, seorang tokoh sosiologi klasik asal Jerman.
Dalam karya Johnson (1988) dijelaskan bahwa perspektif itu merupakan kritik terhadap perspektif fakta sosial atau fungsionalismeEmile Durkheim, tokoh sosiologi klasik asal Perancis.Jika obyek sosiologi Durkheim adalah fakta sosial yang harus dapat dikuantifikasi, maka obyek sosiologi Weber adalah tindakan sosial yang harus dipahami dengan cara menafsir (interpretasi) makna subyektifnya.
Metode untuk memperoleh pemahaman yang sahih (valid) mengenai arti subyektif tindakan sosial tadi adalah verstehen (pemahaman subyektif).Ini berarti sosiologi, sebagai ilmu empirik, harus menganalisa perilaku aktual manusia individual menurut orientasi subyektif pelaku sendiri.
Mengacu pada kritik metodologis Weber atas Durkheim tadi, seperti dituturkan Denzin dan Lincoln (2000), metode penelitian kualitatif kemudian tampil sebagai kritik terhadap metode kuantitatif.
Dalam tradisi sosiologi, penelitian kuantitatifmemang berorientasi terutama pada perspektif fungsionalisme Durkheim. Dibangun berdasar faham postivisme, perspektif Durkheimsecara ketat mendasarkan perumusan teori ilmiah pada data positif atau terukur secara empiris.Dalam kaitan ini masyarakat tineliti dilihat sebagai realitas obyektif, sedangkan peneliti diposisikan sebagai subyek yang melakukan pengamatan dari luar realitas itu.
Saya yakin, kita perlu membaca-ulang artikel ini dari awal agar bisa lebih paham lagi soal pumpunan penelitian kualitatif.Karena itu saya berhenti dulu di sini, sebelum nanti lanjut ke diskusi tentang orientasi penelitian kualitatif.(*)
Tolong baca artikel sebelumnya:
penelitian-kualitatif-003-beginilah-sifat-sifatnya
penelitian-kualitatif-002-inilah-asumsi-asumsi-dasarnya
penelitian-kualitatif-001-apa-batasannya
Anjuran Bacaan
1.N.K. Denzin & Y.S. Lincoln (Eds.), 2000, Handbook of Qualitative Research (Second Edition), Thousand Oaks, London, New Delhi: Sage Publications
2.D.P. Johnson, 1988, Teori Sosiologi Klasik dan Modern (Jilid I, diindonesiakan R.M.Z. Lawang), Jakarta: Gramedia.
3.P.J. Pelto & G.H. Pelto, 1978, Anthropological Research: The Structure of Inquiry, Cambridge: Cambridge University Press.
Kompedusiana.com
Learning by Sharing
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H