Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Pemberitahuan: Artikel Ini Tidak Pernah Ada

12 Juli 2016   11:34 Diperbarui: 13 Juli 2016   18:04 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tidak menulis artikel untuk Kompasiana hari ini, Selasa 12 Juli 2016.  Semata-mata karena alasan kering ide. 

Benar-benar kering ide.  Dalam arti ide baru.  Sebab saya tak tega membagi ide basi kepada rekan-rekan Kompasianer.

Setiap akan menulis artikel, pertanyaan pertama dalam benak saya adalah apakah ada sesuatu yang baru?  Entah itu fakta, sudut pandang, kerangka kerja, atau apapun itu.

Dalam hal kebaruan itu, saya harus angkat topi pada Kompasianer Senior Tjiptadinata Effendi.  Beliau ini teladan saya untuk selalu berusaha membagi sesuatu yang baru kepada sesama Kompasianer.

Pak Tjip, lewat pengalaman hidupnya yang sungguh kaya, saya pikir sudah menjadi “bendungan ide” yang tak terduga luas dan dalamnya.  Maka, setiap hari, beliau tinggal mengalirkan ide-ide itu kepada khalayak, dalam dua sampai empat artikel.

Satu lagi teladan saya adalah Kompasianer Jati Kumoro.  Beliau ini sangat ketat pada kriteria kebaruan.  Kalau bukan sesuatu yang baru, lebih baik tak menulis, seperti terjadi sekarang.  Sering isi artikelnya terlalu “baru”, sehingga tak terjangkau pikiran Admin K. Akibatnya artikelnya  jarang masuk kategori Artikel Pilihan apalagi Head Line.

Tapi lihatlah, karena menawarkan “kebaruan”, lazimnya sensasi, artikel rekan Jati selalu kebanjiran pembaca, sehingga hampir selalu masuk ruang Nilai Tertinggi.  Tentang para pembacanya, saya yakin mereka datang dari generasi pembaca Nick Carter dan Anny Arrow.

Saya pikir, Pak Tjip dan Pak Jati itu adalah tipe Kompasianer yang konsisten pada bidangnya.  Tak mau terbawa arus.  Misalnya arus utama sekarang adalah “menguliti” Ahok, Gubernur DKI Jakarta.  Mereka tak ikut-ikutan.

Sikap yang patut dipuji.  Juga saya ikuti, tak mau terbawa terus-menerus mengupas Ahok.  Dulu isu Ahok memang seksi, tapi sekarang sudah banal.  Basi, jenuh, membosankan, itu-itu melulu, tak ada kebaruan.

Bahkan bukan hanya tak ada kebaruan.  Artikel-artikel tentang Ahok sekarang sudah seperti gosip politik kedai tuak.  Dan kita tahulah siapa yang berkoar  di kedai tuak: pemabuk!  Malang benar nasib Kompasiana, jadi arena koar-koar para “pemabuk”.

Lagi pula, isi artikel-artikel tentang Ahok itu sudah bertebaran di media massa dan media sosial.  Jadi saya heran juga, untuk apa mereproduksinya di Kompasiana?  Bukankah itu menghina Kompasianer dan Kompasiana?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun