Hari-hari ini, saya mengalami kejenuhan dalam bernegara. Saya khawatir, banyak juga teman yang mengalami kejenuhan yang sama. Dan mungkin bukan sekadar banyak, tapi mayoritas warga bangsa ini sebenarnya sedang dihinggapi kejenuhan yang sama.
Terserah apa definisi para politikolog dan politisi tentang bernegara. Yang saya alami, definisi yang hidup, bernegara adalah interaksi antar unsur trias politica, antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang berpusat pada unsur rakyat, di mana saya salah seorang diantaranya. Logika saya, interaksi trias politika itu mestinya berorientasi pada kepentingan rakyat, termasuk saya, demi peningkatan kemaslahatan masyarakat bangsa ini.
Tapi apa yang saya lihat dan alami dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, tahun ke tahun? Saya memang melihat adanya interaksi trias politika itu demi kemaslahatan rakyat. Tapi secara lebih menonjol saya juga melihat rakyat dijadikan obyek interaksi trias politica demi kemaslahatan trias politica itu sendiri.
Saya jenuh menyaksikan unsur judikatif yang sangat cepat menangani kasus-kasus recehan, tapi sangat lamban dan terkesan lumpuh ketika menangani berbagai kasus berat, semisal kasus-kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melibatkan oknum-oknum trias politica itu sendiri dan kroni-kroninya. Kasus-kasus semacam Century dan Hambalang itu misalnya, atau kasus-kasus pelanggaran HAM berat, seperti tak ada ujung penyelesaiannya. Saya jenuh membaca beritanya, yang seperti mengabarkan lorong tanpa ujung.
Saya jenuh menyaksikan unsur legislatif, yang katanya mewakili rakyat, termasuk saya. Tapi saya tidak merasa terwakili, terlebih melihat kenyataan mereka tiap hari berpacu dengan mobil-mobil mewah seharga milyaran, makan di resto-resto termahal, dan tidur di hotel-hotel termahal. Saya tidak merasa terwakili ketika mereka berdebat sampai berbusa-busa di Senayan, karena saya lihat yang diperjuangkan seringkali adalah kepentingan politik dan ekonomi partai atau oknum DPR. Saya dan rakyat hanya kebagian janji sekali lima tahun saja.
Saya jenuh menyaksikan unsur eksekutif yang lebih sibuk melayani kepentingan birokrasi dan oknum birokrat daripada kepentingan rakyat atau publik. Gejala birokratisme yang ditandai dengan KKN menjalari semua sektor pemerintahan, mulai dari departemen yang mengurusi persoalan profan sampai yang mengurusi persoalan sakral. Saya jenuh melihat kinerja birokrasi yang sungguh lamban mengatasi persoalan kemiskinan, mungkin karena birokrasi yang terlalu tambun, sehingga susah bergerak.
Tapi di tengah kejenuhan bernegara, saya juga melihat sejumlah tokoh pembawa titik terang. Ada sejumlah tokoh legislatif, eksekutif, dan judikatif yang punya integritas kuat, terpercaya, dan gigih tak kenal takut memperjuangkan kepentingan rakyat sesuai yang digariskan konstitusi. Kepada mereka ini saya, dan saya kira juga rakyat banyak, menaruh harapan akan terciptanya Indonesia yang lebih baik.
Pak Jokowi, Anda akan memimpin saya dan banyak orang lagi yang mungkin sedang jenuh bernegara. Saya berharap pemerintahan Pak Jokowi nanti tidak semakin memperparah kejenuhan kami. Kepemimpinan Anda di Solo dan Jakarta adalah pola kepemimpinan yang bisa memecah kejenuhan, karena Anda datang dengan suatu kebaruan yang sungguh manusiawi.
Saya menaruh harapan pada implementasi gagasan revolusi mental dari Anda, Pak Jokowi. Dan saya kira, itu harus dimulai dari atas, dari tubuh trias politica sendiri. Revolusi mental legislatif, eksekutif, dan judikatif. Kalau tidak dimulai dari atas, jangan pernah berfikir saya atau kami yang sudah jenuh ini akan bisa bersama Anda menjalankan revolusi mental.
Saya bermimpi, tahun 2019 nanti, kejenuhan saya dalam bernegara telah berubah menjadi kegembiraan dalam bernegara.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H