Pernah dengar lagu Batak “Dolung-dolung Parapat”? Ini petikan liriknya: “Dolung-dolung ni Parapat i. Hasiholan ni par Medan i.” Terjemahan bebasnya, “Dolung-dolung buatan Parapat. Dirindukan orang Medan”.
Pernah jugakah dengar lagu Batak “Marombus-ombus” dilantunkan Christine Panjaitan atau Victor Hutabarat? Petikan liriknya, “Marombus-ombus do, lampet ni Humbang tonggi tabo. (…) Ai boru Hombing do, na paturehon mansai malo.” Kurang-lebih artinya, “Ombus-ombus, lepat Humbang manis enak. (…) Boru (Si)hombing yang memasaknya sungguh pandai.”
Dua lagu Batak lama itu menceritakan dua jenis kue jajanan khas Batak, yang rasanya pasti lekat di lidah Batak rantau. Itulah “dolung-dolung” Parapat, Simalungun dan “ombus-ombus” Siborong-borong, Humbang. Kalau ada orang Batak mengaku kelahiran Tanah Batak tapi tak kenal dua jenis jajanan khas itu, bolehlah dipertanyakan klaim kebatakannya.
Bahan dua jenis kue itu sebenarnya persis sama. Tepung beras dengan inti (isi) gula aren campur kelapa parut. Tak ada yang istimewa sebenarnya. Banyak suku bangsa Nusantara membuat kue semacam itu. Dari bahan yang sama dengan cara serupa. Namanya saja yang beda-beda.
Ombus-ombus dan dolung-dolung hanya dibedakan oleh bentuk, ukuran, dan daun pembungkusnya. Ombus-ombus berbentuk kerucut, persis kue bugis, dibungkus daun pisang. Sedangkan dolung-dolung berbentuk bulat, ukurannya lebih kecil, kira-kira sebesar klepon, dibungkus daun bambu. Karena bentuknya bulat kecil, dolung-dolung biasanya dimasukkan ke mulut sekaligus sebutir.
Khusus dolung-dolung, jangan tertipu oleh bungkusnya yang gembung, sehingga terlihat ukurannya besar. Itu karena lilitan daun bambu berlapis-lapis seperti pepes ikan mas. Dari bungkusnya terlihat besar, tapi yakinlah saja, isinya pasti kecil.
Ombus-ombus dan dolung-dolung paling enak dinikmati dalam kondisi panas atau hangat. Harus “diombus-ombus” (ditiup-tiup) dulu supaya tak membakar lidah. Hangatnya kue itu pas benar untuk melawan udara dingin Siborong-borong ataupun Parapat. Apalagi kalau dilengkapi segelas kopi, sambil kongkow di lapo, pagi atau sore, alamaak … gak usah ceritalah nikmatnya.
Nikmati selagi panas atau hangat. Itu hukumnya makan ombus-ombus dan dolung-dolung. Kalau sudah dingin, teksturnya jadi agak keras. Agak luntur kenikmatannya. Kecuali mau repot mengukusnya lagi.
Ombus-ombus dan dolung-dolung dijajakan di tepi jalan atau di depan rumah makan tempat perhentian bus antarkota. Tapi ada beda cara jual dan sosok penjajanya.
Di Siborong-borong ombus-ombus dijajakan bapak-bapak dengan naik sepeda. Ombus-ombus ditaruh di dalam kompartemen yang diletakkan pada boncengan sepeda. Penjaja berkeliling sambil berteriak pada penumpang bus, “Ombus-ombus las kede!” (Ombus-ombus masih panas!”).
Ikhwal menjajakan ombus-ombus sambil naik sepeda, agaknya mengikuti cara mendiang Anggiat Siahaan, penjaja dan pencetus nama “Ombus-ombus” (No. 1) tahun 1940-an. Awalnya beliau memang menjajakan ombus-ombus dengan naik sepeda dari kampungnya ke Kota Siborong-borong.