Manakala Negara alpa di suatu wilayah, maka Perbanditan akan meraja di situ, lalu rudapaksa terhadap wanita menjadi keniscayaan.
Ini bukan kesimpulan akhir, melainkan hipotesis, sebuah dugaan awal, dalam upaya menjelaskan sebuah peristiwa atau gejala.
Hipotesis itu hendak saya gunakan sebagai panduan untuk mencari satu dari sekian penjelasan yang mungkin diajukan tentang peristiwa rudapaksa brutal baru-baru ini di Bengkulu. Saya sebut itu sebagai “Tragedi Bengkulu”.
Sebagaimana telah diberitakan secara luas, 14 orang lelaki merudapaksa dan membunuh seorang anak perempuan (Yy, 14 th) di Kecamatan Padang Ulak Tanding (PUT), Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.
Banyak pendapat diajukan untuk menjelaskan musabab kejadian itu. Mulai dari faktor kemiskinan, miras tuak, patriarki, sampai mandegnya fungsi kontrol ragam institusi sosial seperti keluarga, komunitas, pendidikan, dan keagamaan.
Saya tak hendak membahas lagi berbagai pendapat itu. Di sini, saya hanya ingin menyampaikan hipotesis di atas. Tanpa tendensi pemutlakan. Tetap membuka ruang uji, untuk kemudian menerima atau sebaliknya menolak hipotesis itu.
Pertanyaan Sederhana
Mengapa saya mengajukan hipotesis tadi? Karena saya dihadapkan pada sejumlah pertanyaan sederhana yang tak terjawab, saat menelisik faktor-faktor penyebab rudapaksa dan pembunuhan yang telah disampaikan berbagai pihak.
Pertama, terkait faktor kemiskinan. Bengkulu memang masuk urutan ke-6 dalam daftar 10 propinsi termiskin tahun 2015, dengan jumlah penduduk miskin 17.16%. Tiga propinsi termiskin adalah Papua (28.40%), Papua Barat (25.73%), dan NTT (22.58%). Pertanyaan: mengapa di tiga propinsi termiskin itu tak ada kejadian serupa kasus Yy?
Lagi, pertanyaan: apakah ada hubungan kausal yang bersifat langsung antara tingkat kemiskinan dan tingkat rudapaksa?