Siapakah Kompasianer yang sangat gemar dan tanpa kemaluan mempromosikan diri sebagai Kompasianer Tanpa Celana? Semua orang sudah tahu: Prof. Pebrianov! Maka personal branding Profesor ahli lendir (tje le goek) ini adalah “menulis tanpa celana”.
Profesor ahli lendir? Begitulah. Sesuai bidang akademiknya, Prof. Pebrianov (Peb) inilah yang menemukan teori bahwa kayu yang masih berlendir haram dipakai sebagai bahan bangunan dan mebel. Teori ini diikuti oleh tukang kayu sedunia, termasuk Pak Jokowi dulu ketika masih usaha mebel. Rada geli sebenarnya memikirkan ada orang bisa jadi Profesor karena urusan lendir. Rasanya, gimana.., gitu.
Bahwa branding “tanpa celana” itu tercermin juga dari perilakunya, semua orang sudah mahfum. Karena “tanpa celana” maka dia kini tumbuh menjadi “lelaki pemalu yang gemar memainkan anak rambut”. Entah sejak kapan rambutnya kawin-mawin lalu hamil dan melahirkan banyak anak, tak pernah dijelaskan. Dugaan sementara, seperti klaimnya sendiri tentang sifat “hermaprodit”-nya, maka rerambutannya juga hermaprodit yang bisa menghamili diri sendiri. Sulit dibayangkan bagaimana gatalnya saat proses itu berlangsung sepanjang waktu di kepala Prof. Peb. Mungkin itu sebabnya dia gemar pakai topi.
Tapi sudahlah. Kembali pada soal branding “tanpa celana”. Prof. Peb tidak pernah mau mengungkap asal-usulnya. Padahal sudah berulang kali saya tanyakan. Jawabnya, seperti biasa, “Heu heu heu…” Jelas tak ada info yang bisa disedot dari Profesor yang selalu “terheuheu tanpa celana”.
Karena bertanya telah menjadi kesia-siaan, maka saya putuskan mencari sendiri jawaban. Untuk itu saya menggunakan metode arkeologi teks yang belum pernah saya pelajari. Setelah melakukan penggalian terhadap teks-teks artikel Prof. Peb di Kompasiana, maka “Eureka…! Ketemu jawabannya.”
Begini ceritanya.
Pada mulanya adalah sebuah tragedi. Terjadi saat Prof. Peb asyik-masyuk dalam gelut sadomasokis tekstual dengan Kompasianer Desol di Kompasiana tahun lalu. Saking asyiknya perang lendir dan tikam-menikam kata, Prof. Peb sampai lupa pake celana selepas mandi sore lantaran keburu nafsu membalas pitingan puitis Desol. Tanpa disadarinya, kondisi “tanpa celana”, hanya ada lilitan handuk kumal, itu rupanya telah melancarkan aliran darah ke kepala, sehingga otaknya langsung full setrum energi kreatif untuk membalas Desol secara setimpal. Begitu garis besar ceritanya. Detilnya silahkan dibayangkan sendirilah. Saya bukan sejenis Nick Carter atau Anny Arrow atau Mahaguru Jati KoH yang jenius bikin detil cerita begituan.
Selanjutnya tragedi ditransformasi jadi strategi. Sadar akan besarnya muatan energi kreatif pada tragedi “menulis tanpa celana”, Prof. Peb langsung mentransformasikannya menjadi strategi penulisan artikel. Strategi menulis tanpa celana itu, saya sebut strategi nudisme tekstualisasi, adalah strategi penulisan secara “telanjang” sehingga melampaui batas-batas “saru”. Saya bilang melampaui, bukan melanggar atau menabrak. Maka lihatlah bagaimana dengan strategi itu Prof. Peb setiap saat memproduksi artikel-artikel “telanjang”, menguak apa adanya, tanpa menutup-nutupi atau tanpa kamuflase apapun. Itulah artikel-artikel yang “jujur”, tanpa “pupur”, kecuali bumbu genit main anak rambut sambil tersipu malu-maluin.
Saya kira strategi nudisme tekstualisasi itu tergolong temuan besar Prof. Peb, yang setara dengan penemuan Hukum Archimedes yang konon juga ditemukan dalam kondisi “tanpa celana”. Saya mendadak sadar bahwa nudisme itu itu adalah alur lain strategi tekstualisasi yang sejajar dengan strategi anarkisme Felix Tani si petani mardijker kampungan itu. Keduanya adalah tahapan strategi lanjut setelah strategi narsisme yang konon masih dianut Kompasianer S Aji. Dengan kata lain S Aji masih terpaku pada strategi zaman Yunani Kuno. Tapi memang sulit berharap revolusi dari orang yang terobsesi pada Vonny Cornelia dan Bruce Lee pada waktu bersamaan. Nggak nyambung banget deh.
Jadi tak bercelananya Prof. Peb bukanlah sembarang tak bercelana. Itu adalah strategi penulisan yang genuin, khas Prof. Peb. Dan saya pikir, hanya Prof. Peb yang bisa begitu, bukan yang lain.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H