"Penulis tidak netral." "Penulis berpihak." "Penulis tidak independen." Itu komentar yang kerap terbaca dalam ruang tanggapan artikel di media sosial. Termasuk di Kompasiana. Saya termasuk yang pernah dapat komentar seperti itu.
Saya, jika mendapat komentar seperti itu, biasanya mengaku jujur, "Memang saya tidak netral. Saya berpihak." Dan saya tidak melihat ada masalah di situ.
Mengapa saya bilang tidak ada masalah. Karena saya berangkat dari prinsip "tidak ada penulis yang bebas nilai, sehingga tidak ada pula tulisan yang bebas nilai." Dengan kata lain, netralitas penulis atau tulisan adalah mitos.
Tak sulit membuktikan ketak-netralan penulis dan tulisannya. Â Di Sekolah Dasar, dalam rangka Hari Ibu, Â siswa sebuah kelas diminta membuat karangan singkat tentang ibu yang ideal. Maka setiap siswa menuliskan tipe ibu ideal yang berbeda satu sama lain. Mengapa? Karena masing-masing siswa merujuk pada pengalaman pribadi dengan ibunya. Dengan kata lain, tipe ibu ideal itu digambarkan berdasar subyektivitas siswa.
Subyektivitas, itulah kata kunci untuk menjelaskan perihal ketaknetralan penulis. Setiap penulis sudah punya nilai-nilai yang bersifat subyektif dalam benaknya. Nilai-nilai itu lalu membentuk sudut pandang dan kerangka pikir yang khas subyektif saat penulis mengamati suatu benda atau peristiwa, mengumpul fakta tentangnya, menganalisanya, dan kemudian menuliskannya.
Itu sebabnya, sebagai contoh, mengapa tulisan para Kompasianer berbeda-beda saat melaporkan suatu peristiwa yang sama. Karena masing-masing melihat dan menafsir secara khas, seturut kerangka pikir subyektifnya.
Kerangka pikir subyektif itu terbentuk pada setiap individu sejak dini. Mula-mula nilai-nilai budaya keluarga, komunitas, dan etniknya yang memberi bentuk. Lalu nilai-nilai agama dan masyarakat yang ditanamkan lewat proses pendidikan formal dan non-formal. Namun setiap individu pada dasarnya bersifat selektif terhadap nilai-nilai, sehingga setiap individu tampil sebagai subyek yang khas, sekalipun misalnya datang dari satu keluarga dan sekolah yang sama.
Jika saya bilang netralitas penulis dan tulisannya adalah mitos, maka otomatis saya mau mengatakan obyektivitas adalah mitos.
Mitos? Ya, mitos. Sebab apakah ada yang obyektif? Data kuantitatif? Coba periksa, sebagai contoh, pada suatu masa  pernah data stok beras nasional  di Kementerian Pertanian dan di Bulog berbeda. Menurut data Kementerian Pertanian beras surplus, karena kepentingannya untuk swasembada. Sedangjan menurut data Bulog beras defisit, karena kepentingannya untuk impor.
Contoh lain, kata "ndeso". Itu sebuah kata, mestinya obyektif, menyimbolkan suatu fakta. Tapi benarkah obyektif? Â Tergantung pada subyektivitas penafsirnya. Ada yang menilainya sebagai penghinaan, sehingga Kaesang Pangarep harus dilaporkan kepada polisi karena melontarkan kata itu di vlognya. Tapi ada yang melihatnya sebagai ekspresi guyon, sehingga justru terhibur.
Begitulah. Berjuang menjadi penulis netral atau obyektif adalah kesia-siaan belaka. Yang harus dilakukan justru mendayagunakan potensi subyektivitas. Sehingga lahir tulisan-tulisan yang punya karakter khas, punya signature. Tulisan-tulisan yang punya struktur dan warna khas, sehingga tetap terlihat di "taman seribu bunga", seperti Kompasiana.