Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Meneropong Jokowi Pakai Sedotan Dari Pucuk Monas

13 April 2015   09:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:11 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Haruskah kita percaya pada  pengakuan Presiden Jokowi bahwa lolosnya  Perpres No.39/2015, yang mengatur kenaikan uang muka pembelian kendaraan pejabat menjadi Rp 210,890 juta, terjadi karena dia tak cermat membaca konsepnya lebih dulu?

Kalau kita percaya begitu saja, maka perlu introspeksi,  sebab jangan-jangan kita sudah terkena sindrom "teropong sedotan dari pucuk  Monas".   Ini sebuah metafora untuk mengatakan kita telah gagal  menangkap  makna sejati di balik pengakuan Jokowi itu, karena menafsirnya menggunakan  perspektif yang tak handal.Saya akan jelaskan di bawah ini.

Obyektivisme yang Etnosentris

"Meneropong Jokowi  pakai sedotan dari pucuk Monas" berarti menafsir perilaku politiknya dengan menggunakan perspektif yang tak handal.Perspektif yang saya maksud di sini adalah perspektif yang diklaim sebagai obyektivisme.Dengan perspektif ini, pengakuan Jokowi diperlakukan sebagai data obyektif yang ditafsir menurut apa yang tersurat.

Kesimpulan tafsir kaum objektivis itu, seperti bisa dibaca di ragam media sosial termasuk Kompasiana, sudah bisa ditebak yaitu: tak profesional, gegabah, tak peka pada derita rakyat, tak bertanggung-jawab, dan membahayakan bangsa dan negara.

Tapi benarkah begitu?Saya ragu.Alasannya, tafsir yang diklaim objektif itu layak dipertanyakan obyektivitasnya.Mengapa? Karena walaupun Jokowi tidak mengungkapkan pengakuan yang sepintas terdengar konyol itu, kesimpulan kaum obyektivis itu akan sama saja.Pengakuan Jokowi itu mereka perlakukan semata-mata sebagai salah satu bukti saja, untuk memverifikasi hipotesis mereka tentang Jokowi. Dengan kata lain, mereka sebenarnya sudah punya “kesimpulan mati” (final conclusion) tentang kapabilitas dan kompetensi Jokowi sebagai presiden.

Jadi, menurut saya, yang terjadi sesungguhnya adalah tafsir yang bersifat etnosentris tentang perilaku politik dan kepemimpinan Jokowi.Ini yang saya maksud dengan perspektif yang tak handal, karena para penafsir yang mengkalim diri obyektif itu sebenarnya telah menggunakan nilai-nilai atau ukuran-ukuran pribadi/kelompok sendiri dalam menafsir Jokowi.Wujudnya berupa “hipotesis” tentang kapabilitas/kompetensi Jokowi sebagai presiden, sebagaimana kesimpulan di atas.

Kesimpulannya akan berbeda jika menafsir Jokowi dengan perspektif subyektivisme.Sebuah perspektif yang tak menyimpulkan berdasar apa yang tersurat, tetapi berdasar apa yang tersirat di baliknya.Saya akan tunjukkan di bawah ini.

Subyektivisme, Sudut Pandang Jokowi

Jika menggunakan perspektif subyektivisme, maka kita terlebih dahulu harus memahami karakter Jokowi sebagai pemimpin.Ini penting karena kita akan menafsir pernyataan Jokowi berdasar sudut pandang Jokowi sendiri sebagai subyek.Hal ini hanya mungkin dilakukan jika kita memahami karakter pribadi Jokowi.

Tentang karakter subyek Jokowi, ada dua hal yang perlu dicatat yaitu, pertama, Jokowi adalah orang yang presisif. Karakter ini terbentuk dari pengalamannya sebagai tukang kayu yang sangat ketat pada detil dan ukuran, sejak disain (perencanaan) sampai pengerjaaan (implementasi).

Berdasar karakter presisif tersebut, maka mustahil Jokowi tak membaca draft Perpres No. 39/2015 itu secara teliti sebelumnya.Ini sejalan dengan penegasan Prof. Yusril Ihza Mahendra, ahli hukum tata-negara, yang tak percaya Perpres No. 39/2015 itu lolos tanpa sepengetahuan Presiden Jokowi. Menurut Yusril, selain prosedur penerbitan Perpres itu sudah bersifat baku, perubahan besaran uang muka kendaraan pejabat itu esensial sifatnya, sehingga mustahil Jokowi tidak tahu atau tak diberitahu sebelumnya (baca Tempo.co, 6/4/2015).

Kedua, sebagai pemimpin, sejak dari jabatan Walikota Surakarta, lalu Gubernur DKI Jakarta, sampai kini menjadi Presiden ke-7 RI, Jokowi tak pernah secara eksplisit “menyalahkan anak buah”.Paling tidak, dia tak pernah melempar tanggung-jawab kepada anak-buahnya jika terjadi suatu kesalahan atau kegagalan.

Ini sebenarnya adalah karakter tipe Pemimpin Tingkat 5, tipe Leader of Leader, jika merujuk stratifikasi pemimpin menurut Jim Collins (Good to Great, Collin Business/Random House, 2001).Tipe pemimpin seperti ini selalu menunjuk kesalahan pada dirinya, bukan pada anak-buahnya atau pihak luar, apabila terjadi suatu kegagalan atau masalah.  Sebaliknya, jika ada keberhasilan, maka dia akan mengklaim hal itu sebagai buah kerja keras anak-buahnya.

Terkait Perpres No. 39/2015 itu, berdasar dua aspek karakter di atas, dapat disimpulkan bahwa Jokowi sejak awal sudah tahu isinya dan sudah paham bahwa substansinya tidak “memihak rakyat”.Tapi, mengingat isi Perpres itu adalah usulan Ketua DPR-RI per tanggal 5 Januari 2015, Jokowi tidak mau konfrontatif dengan DPR waktu itu karena memerlukan iklim komunikasi yang kondusif untuk sejumlah keputusan politik, antara lain pengusulan Komjen Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri.

Kalaupun kemudian Perpres Nomor 39/2015 itu diterbitkan tanggal 23 Maret 2015, Presiden Jokowi juga sudah tahu harus segera membatalkannya.Terlebih saat penerbitan Perpres itu, harga-harga kebutuhan pokok sedang melonjak sehingga rakyat menjerit di mana-mana.Maka Presiden Jokowi menyatakan akan membatalkan Perpres tersebut, demi keadilan sosial, sekaligus sebagai bentuk pemihakannya kepada rakyat.

Jokowi jelas mengambil momen yang tepat untuk pembatalan Perpres tersebut.Diapun tak menyalahkan siapa-siapa atas lolosnya Perpres itu, tidak Ketua DPR-RI dan tidak juga menteri-menterinya.Dia mengambil sikap untuk menyalahkan diri sendiri, dengan resiko akan dihujat oleh berbagai pihak dengan berbagai kepentingan.

Tapi lihatlah, apakah Ketua DPR-RI yang mengusulkan kenaikan uang muka kendaraan itu mengecam keputusan Presiden Jokowi?Apakah juga DPD, Hakim Agung, Hakim Konstitusi, BPK, dan Komisi Yudisial yang batal terima uang muka itu protes?Tidak, karena mereka tahu uang sebesar Rp 158.8 Milyar yang seyogyanya menjadi uang muka kendaraan untuk 753 orang pejabat, lebih baik jika dialokasikan untuk kepentingan rakyat.

Jadi, siapa sebenarnya mereka itu, orang-orang yang mengecam Jokowi karena mengambil keputusan yang benar?  Entahlah, tapi saya menduga,  mereka adalah orang-orang yang suka meneropong Jokowi pakai sedotan dari pucuk Monas.(*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun