Novel Syed Waliullah, "Pohon Tanpa Akar" terjatuh dari rak ketika aku mencari novel mendiang Elie Weisel, "Malam" dan "Fajar" beberapa hari lalu.
Maka, setelah membaca kembali novel Weisel dan menuliskan sebuah obituari untuk tokoh dunia itu (K.3/7/2016), saya putuskan membaca ulang karya Waliullah tadi.
Waliullah, lahir 1922 dan wafat 1971, adalah  seorang sastrawan Bangladesh atau Bengal. Atas sumbangsihnya pada sastra Bengali, Waliullah mendapatkan penghargaan dari Akademi Bengali tahun 1961.Â
"Pohon Tanpa Akar" adalah novel Waliullah yang paling terkenal. Novel itu terbit pertama kali tahun 1949 dengan judul "Lai Shalu", artinya "kain merah" penutup makam para wali. Edisi Indonesianya diterbitkan Yayasan Obor Indonesia tahun 1990, terjemahan edisi Inggrisnya, "Tree Without Roots".
Aku baru mendapatkan dan membaca novel itu pertama kali pada akhir Januari 1992. Harganya waktu itu Rp 3,900.
Novel itu mengisahkan strategi hidup Majid, seorang muazzin, untuk keluat dari deraan kemiskinan dan kelaparan. Majid tinggal di daerah paling miskin di Bangladesh. Daerah di mana "Lebih banyak kopiah daripada ternak, lebih banyak kopiah daripada ikatan padi."
Hal itu terjadi karena "Sedikit makanan berarti makin besar segi keagamaannya. Tuhan telah berfirman: tutuplah kepalamu bila kau bersalat untukKu, karena itu adalah ciri mereka yang takut pada Tuhan."
Tapi seorang muazzin perlu juga makan demi mengumandangkan firman Tuhan. Sementara di tempat Majid dan warga lsinnya tinggal yang tersisa hanyalah "kelaparan yang menggerogoti dan membuat mereka gila."
Maka Majid pergi ke Mahabbatpur, sebuah desa pertanian yang makmur tapi warganya  tak punya "rasa takut kepada Tuhan".
Di sana dia murka kepada warga desa yang dituduhnya lalai merawat makam Wali Shah Sadiq, padahal arwahnya sudah memberkahi warga desa itu dengan segala kegemah-ripaan.
Seluruh warga desa, terutama Khaliq, tokoh desa sekaligus pemilik tanah tempat makam itu berada, langsung dirundung rasa bersalah, sehingga bersepakat memugar bersama makam tersebut.