Marah itu sah-sah saja. Asalkan logis, etis, dan estetis.
Lha, marah kok pakai aturan logika, etika, dan estetika. Repot amat. Marah ya marah aja.
Tunggu dulu! Marah itu juga termasuk ekspresi pikiran dan rasa. Pikiran menyangkut logika. Rasa menyangkut etika dan estetika.
Intinya, marah yang logis, etis, dan estetis itu adalah marah yang sehat dan produktif. Mengungkap masalah, lalu memberi solusi.
Sebaliknya, marah yang tak logis, tak etis, dan tak estetis adalah marah yang sakit dan kontra-produktif. Istilah yang tepat untuk jenis marah seperti ini adalah “kalap”, “gelap mata”, atau “membabi-buta”.
Marahnya Risma baru-baru ini pada Ahok adalah teladan marah yang tak logis, tak etis, dan tak estetis.
Tak logis karena kemarahan Risma keluar dari konteks dan melenceng substansinya. Ahok mau bilang kalau mau membanding harus “kesemek dengan kesemek”. Kotamadya (Surabaya) harus dibanding dengan Kotamadya (Jakarta Selatan), bukan dengan Provinsi (DKI).
Yang terjadi kemudian Risma keluar dari konteks. Dia malah mengalihkan masalah ke soal penghinaan oleh Ahok, karena dianggap meremehkan Surabaya karena disetarakan hanya dengan Kodya Jakarta Selatan. Lalu menyebut luasan Surabaya sekitar separuh luas Jakarta. Lalu menafsir “peremehan” itu sebagai cermin ketakutan Ahok menjelang Pilgub DKI 2019.
Dengan kata lain, dalam marahnya Risma telah melakukan “red herring”. Melempar umpan isu “Pilgub DKI”. Untuk menunjukkan dirinya layak menjadi Gubetnur DKI Jakarta.
Bagusnya, Ahok tak melayani Risma, kecuali bilang Risma sedang “baper”. Akibatnya fatal untuk Risma. Dia terjebak pada lakon “strawman argument”, dengan membeber ragam keberhasilannya dalam membangun Surabaya. Untuk menunjukkan bahwa dia bisa membangun kota lebih baik dibanding Ahok. Lha, apa hubungannya ya dengan keharusan pembandingan “kesemek dengan kesemek”.
Marahnya Risma itu juga tak etis, karena melecehkan sesama kepala daerah, bahkan kepala daerah yang lebih tinggi tingkatannya. Masa walikota marah-marah pada gubernur dengan menyebutnya “sombong” dan “takut” (?) segala. Ini sesama kepala daerah lho. Di mana etikanya, coba?