Tolikara, Papua kini menjadi ikon manajemen cerdas atas sebuah konflik sosial. Ia layak menjadi rujukan penanganan konflik sosial di ruang dan waktu lain di Indonesia.
Suatu manajemen konflik sosial, seperti kasus Tolikara, disebut cerdas bila dalam waktu cepat, setelah destruksi atas struktur lama, masuk ke tahap rekonsiliasi dan rekonstruksi untuk menegakkan struktur harmoni baru. Manajemen cerdas itu melihat struktur lama sebagai sumber ketakadilan bagi satu/dua pihak yang berkonflik, sehingga harus didestruksi, lalu rekonsiliasi dan rekonstruksi struktur baru yang lebih berkeadilan.
Sebaliknya, suatu manajemen konflik sosial dikatakan tak cerdas, jika terhenti pada tahap destruksi yang meluas, tanpa rekonsiliasi dan rekonstruksi yang bermakna. Manajemen konflik seperti ini bisa menyebabkan “kemusnahan” salah satu atau kedua pihak yang berkonflik.
Lantas, apa tepatnya indikator kecerdasan manajemen konflik Tolikara dan, berdasar kasus itu, adakah “formula cerdas” penanganan konflik sejenis di waktu mendatang.
Strategi Isolasi
Konflik Tolikara memperhadapkan komunitas Gereja Injili di Indonesia (GIDI) dan komunitas Muslim setempat. Konflik meletup tanggal 17 Juli 2015, saat komunitas Muslim menunaikan shalat Ied di lapangan Koramil setempat. Sekelompok unsur komunitas GIDI membubarkan paksa ibadah itu karena dinilai melanggar “ surat larangan” GIDI. Pembubaran itu berubah menjadi konflik fisik, dengan akibat jatuhnya korban manusia (1 orang tewas, 10 orang terluka), bangunan terbakar (43 kios, 1 mushala), dan trauma psikis.
Konflik Tolikara dengan cepat mendapat reaksi dari kalangan nasional dan internasional. Selain kecaman dan keprihatinan, muncul kecemasan konflik akan melebar ke tingkat propinsi bahkan nasional sebagai konflik antar-agama. Untunglah kecemasan itu terpatahkan karena, hanya selang 5 hari kemudian (22/7/2015), konflik sudah masuk tahap perdamaian, atau rekonsiliasi dan rekonstruksi.
Rekonsiliasi yang cepat itu, disusul rekonstruksi sosial, adalah indikator utama kecerdasan manajemen konflik di Tolikara. Ada dua langkah utama manajemen cerdas yang telah ditempuh di situ.
Langkah manajemen cerdas pertama adalah pengisolasian dimensi-dimensi struktural konflik yaitu motif, pelaku, dan ajang sosialnya. Motif konflik itu berhasil diisolasi hingga sesempit benturan kepentingan teknis pelaksanaan kegiatan massal, akibat miskomunikasi antara komunitas GIDI (seminar kepemudaan), komunitas Muslim (Shalat Ied), dan pemerintah setempat (perijinan). Langkah ini efektif memposisikan konflik Tolikara sebagai “konflik antar kelompok”, sehingga isu “konflik antar-agama” yang potensil meluas dapat diredam.
Isolasi motif itu sekaligus mengindarkan sikap menyalahkan salah satu pihak yang berkonflik. Pemerintah bahkan secara cerdas mentransfer sumber masalah dari komunitas ke birokrasi, dengan menunjuk pada faktor kelambanan respon birokrasi (terkait “surat larangan” GIDI), kesalahan penanganan konflik di lapangan, dan kealpaan birokrasi mengoreksi peraturan daerah yang bias kepentingan DIGI.
Selanjutnya pelaku konflik berhasil diisolasi sebatas antar komunitas GIDI dan Muslim Tolikara. Isolasi ini kemudian direduksi lagi ke tingkat individu, yaitu orang-orang yang melakukan tindak kriminal dengan memprovokasi kerusuhan dan perusakan sarana fisik. Langkah ini efektif mencegah eskalasi konflik, karena menutup celah bagi pihak luar masuk ke Tolikara untuk memperkeruh keadaan.