(HRM #115)
Sungguh malu rasanya manakala pemberian ditolak. Lebih malu ketimbang permintaan ditolak.
Tapi lebih malu lagi manakala sudah pemberian ditolak, disanjung pula. Berlipat lagi malunya ketika yang menyanjung itu orang Jawa tulen yang sudah sepuh.
Itu rasa malu yang sulit dijabarkan, kendati pulen terasa di sanubari. Lebih baik diceritakan saja pengalaman Frans, untuk memudahkan empati.
Hari sudah menjelang malam di Salatiga, suatu hari tahun 1989. Itu hari pertama Frans menginjakkan kaki di kota kecil nan sejuk itu. Tujuannya untuk ikut ujian saringan masuk kuliah di UKSW keesokan harinya.
Strateginya adalah menginap di rumah kos seorang kenalan. Masalahnya dia tidak tahu di mana alamat kenalannya itu. Dia hanya tahu temannya anggota Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Salatiga.
“Numpang tanya, Mbak. Benar di sini sekretariat PMKRI?” Frans bertanya kepada seorang gadis di halaman Gereja Katolik di Jalan Diponegoro. Frans berpikir, siapa saja yang ada di sekitar gereja, pastilah tahu atau setidaknya pernah dengar tentang PMKRI.
“Kurang tahu, Mas. Tapi anak-anak PMKRI memang sering berkegiatan di sini,” jawab gadis itu ramah.
“Waduh …, gimana ini, ya?”
“Kenapa, Mas?”
“Saya mau ketemu kenalan anggota PMKRI sebenarnya. Mau numpang nginap di rumahnya. Besok saya mau ikut ujian masuk kuliah di UKSW,” jawab Frans polos sepolos-polosnya, dengan wajah bingung, seperti balita tersesat di taman bermain.