Artikel “Lovers-Haters Fallacy” Nararya terlalu berharga untuk tak ditanggapi (lihat K.06-10-15).
Khas paparan “logikawan”, kalau boleh pakai istilah ini, artikel itu substansial, logis, dan lugas. Karena itu, mencerdaskan sekaligus merangsang tanya. (Kita bertanya karena cerdas, bukan karena bodoh).
Kesimpulan Nararya sederhana: pelabelan “lovers” atau “haters” pada lawan debat bukan sebuah argumen substansial, melainkan “argumentum ad hominem” alias pembunuhan karakter, dan karena itu tergolong bentuk “sesat pikir” (fallacy).
Nararya menyebutnya sebagai “lovers-haters fallacy”. Sebuah kreasi konseptual yang cerdas.
Prinsip dasarnya, kata Nararya, jangan menyerang pribadi orangnya melainkan bobot argumennya. Nah, prinsip dasar inilah yang saya pertanyakan di sini.
Argumen: Obyektif atau Subyektif?
Pertanyaan saya, apakah sebuah argumen secara objektif berada di luar orang yang menyampaikannya? (Pertanyaan 1).
Atau sebaliknya, apakah sebuah argumen secara subyektif melekat pada orang yang menyampaikannya? (Pertanyaan 2).
Jika Pertanyaan 1 dijawab “Ya” (Pertanyaan 2, “Tidak”), maka prinsip dasar yang disampaikan Nararya tetap tegak.
Tapi, jika Pertanyan 2 dijawab “Ya” (Pertanyaan 1, “Tidak”), maka prinsip dasar yang disampaikan Nararya tumbang.
Dan, asyiknya, saya berada di antara orang-orang (jika ada lebih dari satu) yang menjawab “Ya” untuk pertanyaan kedua, dan “Tidak” untuk pertanyaan pertama.