Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kontroversi Rokok Mensos untuk Warga Suku Anak Dalam

31 Maret 2015   08:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:45 468
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebaiknya lebih banyak lagi belajar antropologi dan sosiologi.Jangan hanya belajar ilmu ekonomi dan ilmu hukum, itupun spesifik terkait aspek konsumsi/konsumen.

Maksudnya, agar YLKI bisa paham tindakan Mensos Khofifah Indar Parawansa memberikan rokok kepada tokoh masyarakat Suku Anak Dalam (SAD) di Sorolangun, Jambi. Jadi tidak buru-buru bilang tindakan Mensos itu tidak pantas, tragis, melanggar PP No. 109/2012 (tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatan), kontra-produktif pada program anti-kemiskinan, dan ditunggangi industri rokok. Juga tidak buru-buru mensomasi Mensos atas tindakannya itu (baca: mensos-bagikan-rokok-gratis-ke-orang-rimba-ylki-tragis-sekali, liputan6.com).

Mensos Khofifah sebaiknya juga lain kali supaya lebih sensitif.Ada banyak “mulut galak” di Jakarta, yang siap protes dan mengecam setiap tindakannya yang dinilai bertentangan dengan norma sosial, mulai dari tingkatan norma kebiasaan sampai norma hukum.Harusnya Mensos tahu bahwa rokok sekarang soal sensitif di negeri ini, banyak pecintanya tapi banyak pula pembencinya. Mestinya, tim pendahululah yang menyerahkan rokok itu sebelum Mensos datang, sebagai simbolisasi ucapan “permisi” atau “ketukan” untuk masuk ke dan diterima di dalam “rumah sosial SAD”.

Maksudnya, agar Mensos tak perlu berpolemik dengan YLKI, hingga keluar kata-kata agar YLKI dan pengeritik yang lainnya tidak menggunakan “kacamata Jakarta” dalam menafsir peristiwa sosial di daerah, atau di lingkungan budaya tententu di nusantara.Mensos mengeritik balik para pengeritiknya dengan mengatakan jangan melakukan hegemoni cultural yang menegasikan kearifan lokal (baca: ini-alasan-mensos-bagibagi-rokok-ke-suku-anak-dalam, republica.co.id).

Kontroversi YLKI dan Mensos itulah yang kontra-produktif, bukan tindakan Mensos memberikan (bukan “membagikan”) rokok kepada tetua SAD. Mensos pergi ke perkampungaqn SAD bukan untuk memberikan rokok, tetapi memberikan bantuan (pakaian kebutuhan pokok), menyusul kejadian meninggalnya 11 orang warga SAD karena rawan pangan.Inilah tindakan utama Mensos, yang justru hilang akibat kontroversi rokok itu.

YLKI dan para pengeritik yang lain perlu tahu, bahwa tindakan memberikan rokok kepada tetua SAD itu dilakukan dalam rangka membangun “rapport” (hubungan baik) antara Mensos dengan SAD.Seperti disinggung di atas, itu semata tindakan simbolis untuk “mengetuk pintu rumah sosial SAD”, agar Mensos diterima di dalam “rumah sosial” itu sebagai “warga”.Itu adalah tindakan “penghargaan” terhadap tradisi setempat, yang harus diikuti jika ingin diterima di tengah warga SAD.Setiap etnis di nusantara memiliki budaya”ketuk pintu”semacam itu.

Jadi, janganlah YLKI langsung berteriak Mensos pro-kemiskinan, karena membagikan rokok yang notabene salah satu penyebab kemiskinan kepada warga SAD yang miskin.Ini teriakan berlebihan, lebay kata anak-anak remaja.Ekstrimnya, jika YLKI ingin menghapuskan kebiasaan merokok di lingkungan warga SAD, maka mustahil dia berhasil jika belum-belum sudah bilang bahwa merokok itu berbahaya, mematikan dan memiskinkan.Dijamin, kalau begitu caranya, YLKI pasti diusir dari batas desa SAD.

Sebenarnya, mengherankan bahwa YLKI tidak bisa melihat tindakan Mensos itu semata “ketukan pada pintu”.Apakah lembaga ini begitu “buta budaya”?Atau kebetulan “kurang kerjaan yang bernilai strategis”?Kemungkinan terakhir ini lebih masuk akal, walau mungkin juga YLKI itu memang “buta budaya”, sehingga tak paham bahasa simbolik budaya-budaya lokal nusantara.

Tapi, kalau benar “kurang kerjaaan strategis”, sebenarnya banyak yang bisa dilakukan YLKI.Antara lain advokasi agar warga miskin tak menerima beras miskin mutu (apek, berkutu, berulat, kandungan gizinya rendah); atau advokasi agar pemegang kartu BPJS memperoleh layanan yang selayaknya; atau advokasi agar pejalan kaki di trotoar Jakarta tak terancam sepada motor; atau advokasi agar penumpang kendaraan umum tidak melulu mengkonsumsi kenaikan tarif bahkan saat harga BBM turun.Janganlah hanya mengurusi hak-hak konsumen dalam mengkonsumsi produk-produk manufaktur.Atau mungkin karena ini lebih mudah diurus?(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun