Menjadi seorang Katolik tak berarti haram menjalani puasa Ramadhan umat Islam. Sepanjang puasa itu tak dijalani sebagai ibadah, tidak jadi masalah. Saya pernah menjalaninya, sebagai laku solidaritas, sekaligus laku tapa.
Kejadiannya sudah puluhan tahun lalu. Tepatnya tahun 1986. Ya, ampun, ternyata sudah 30 tahun lalu. Saya baru sadari itu saat menulis paragraf ini.
Aku dan seorang teman Muslim waktu itu sedang melakukan riset evaluasi program pompanisasi di Desa Sidajaya, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Itu program yang dijalankan LSM Binaswadaya, sebagai solusi kekeringan yang melanda persawahan di sana saat kemarau.
Pompanisasi memang diperlukan di Sidajaya karena topografinya yang kurang menguntungkan. Batas timur dan utara desa ini sebenarnya dialiri Sungai Cipunagara. Tapi tinggi permukaan air sungai berada sekitar 5 meter di bawah permukaan tanah desa atau persawahan. Karena itu diperlukan pompa untuk mengangkat air sungai ke areal persawahan di atasnya.
Kami berdua berada di Sidajaya selama sebulan penuh. Waktu itu bulan-bulan pertengahan tahun, bertepatan Musim Gadu, musim pertanaman di bulan-bulan kemarau kering.
Oleh Pak Kuwu, Kepala Kesa, Kami diberi satu kamar berdua untuk tempat menginap selama di Sidajaya. Makanan dan minuman sehari-hari disiapkan oleh Bu Kuwu. Tentu tidak gratisan. Kami menyetorkan uang makan untuk sebulan kepada Ibu Kuwu.
Tentang Bu Kuwu, secara khusus perlu saya katakan, beliau itu mungkin semacam Ibu Peri. Karena mampu menyediakan makanan yang menurut kami nilainya lipat dua dari uang yang kami setorkan. Sayang, selama di sana, aku tak pernah lihat tongkat perinya.
Ramadhan Tiba
Lima hari tinggal di desa, hari pertama Ramadhan, bulan ibadah puasa umat Islam, tiba. Tidak masalah, karena Ramadhan selalu tiba setiap tahun.
Menjadi masalah karena Pak Kuwu dan Bu Kuwu berkeras agar aku tetap makan seperti biasa saja. Mereka, dan hampir semua orang sedusun, sudah tahu aku seorang Katolik. Jadi tidak wajib puasa Ramadhan. Bu Kuwu berkeras menyiapkan makan pagi dan makan sore untukku.
Makan sore? Ya, orang Sidajaya tidak punya kebiasaan makan malam, tapi makan sore. Antara pukul 16.00 sampai pukul 17.00. “Malam hari kita tidur. Jadi tak perlu makan malam,” Pak Kuwu memberi alasan ketika aku menayakan soal kebiasaan makan sore itu.