Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Karakter Orang Batak dan Kondisi Danau Toba

18 Agustus 2016   14:39 Diperbarui: 18 Agustus 2016   15:35 746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah menuliskan dua artikel provokatif tentang  hubungan orang Batak dan Danau Toba, ijinkan saya menggenapinya dengan tulisan penyimpul ini. (Lihat: “Alangkah Jeleknya Danau Toba”, K.07.08.16; “Jangan Percayakan Danau Toba pada Orang Batak?”, K.17.08.16).

Untuk menghindari tuduhan “ngarang”, saya akan tetap merujuk pada fakta empiris terutama hasil-hasil penelitian. Jadi, jika ada bantahan, hendaknya juga berdasar fakta empirik yang sahih.

Saya akan mulai dengan penyimpulan karakter sosial orang (masyarakat) Batak (Toba). Lalu menyimpulkan implikasinya pada kondisi Danau Toba kini dan perkiraannya ke depan.

Etos Kerja, Patriarki, dan Konflik Sosial

Ada tiga karakter sosial orang Batak yang hendak saya sampaikan di sini yaitu etos kerja, struktur patriarki, dan pola konflik sosial.

Pertama, tentang etos kerja. Hasil riset  sejarah sosiologi ekonomi industri tenun Balige oleh M.T.F. Sitorus (1999)  menyimpulkan orang Batak  menganut etos kerja petani Batak yaitu “kerja keras untuk kemajuan anak”.  Khususnya demi pendidikan tinggi dan pekerjaan bagus untuk anak. Etos kerja ini tetap dibawa ke dalam lingkungan industri tenun/tekstil.

Dengan etos itu,  siklus perkembangan skala usaha/pendapatan kemudian berbanding lurus dengan tuntutan beban biaya untuk sekolah/pekerjaan anak. Konsekuensinya, ketika anak sudah mentas semua, skala usaha/pendapatan pun menyusut. Ini menjelaskan gejala deindustrialisasi industri tenun di Balige, dari skala pabrikan ke skala rumahan.

Kedua, tentang patriarki. Studi I.J.  Simbolon (1998) menyimpulkan struktur patriarki pada masyarakat Batak berimplikasi hak milik tanah ada di tangan laki-laki,  representasi marga raja di tiap kampung (huta). Perempuan, representasi marga penumpang, tidak punya hak milik atas tanah, karena itu bisa diusir dari atas tanah kampung untuk alasan tertentu. 

Struktur pemilikan tanah berdasar patriarki ini berimplikasi serius saat dikaitkan dengan gejala migrasi kaum lelaki Batak, akibat marginalisasi pertanian. Studi J. Rodenburg (1997) menunjukkan perempuan Batak yang ditinggal suami/anak lelaki merantau bertanggungjawab mengolah dan memelihara tanah pertanian, tapi tak punya hak untuk mengambil keputusan atas tanah, semisal alihguna, alih hak, atau menjual.

Ketiga, tentang konflik sosial. Studi B.A. Simanjuntak (2009) tentang pola konflik, dengan mengambil kasus konflik Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) sejak 1920-an, menyimpulkan inti konflik dalam masyarakat Batak adalah perebutan kekuasaan yang melekat pada status sosial. Tujuannya untuk menguasai sekaligus dua sumber kuasa yaitu ekonomi dan politik. Karena kekuasaan dan kekayaan cenderung saling menguatkan. 

Maka, orang Batak cenderung berkonflik jika ada peluang kekuasaan yang dapat diperebutkan. Hal itu merupakan manifestasi tiga nilai yang dikejar orang Batak dalam hidup yaitu “hamoraon, hagabeon, hasangapon” (kekayaan, kesuksesan, kemuliaan).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun