[caption caption="Ahok dan Anies"]Liputan6.com
Hiruk-pikuk Pilkada DKI 2017 sudah cukup lama berlalu, pemenangnya sudah definitif, pasangan Anies-Sandi.
Karena itu saya sungguh heran membaca Kompas.com kemarin (Sabtu, 3/6/2017), yang mengabarkan Anies, Gubernur DKI terpilih (2017-22), mengritik pendekatan “pelayanan” dengan slogan (brand image) “Kami Pelayan Rakyat” yang diusung Pemda DKI sekarang.
Heran karena dua hal. Pertama, masa kampanye sudah berlalu, tapi mengapa Anies masih tetap meneriakkan kritik sinikalnya? Apakah mungkin dia tidak yakin telah menang? Atau mungkin tidak bisa lain kecuali mengeritik penguasa? Yang terakhir ini sikap mental LSM (NGO) lazimnya.
Kedua, kritik Anies sama sekali tidak masuk ke substansi pendekatan “pelayanan” yang diterapkan Ahok-Jarot, atau sekarang oleh Jarot. Dia hanya menyindir pendekatan itu pada kulitnya dengan bilang, “Bapak ibu jadi customer, sedangkan kami yang namanya pemerintah menjadi pelayan. Pelayan dan itu dibanggakan ‘kami pelayan warga’.”
Sindiran Anies ini yang saya mau bahas, karena tanpa menunjukkan kelemahan mendasar pendekatan “pelayanan”, dia tiba-tiba menyatakan komitmen penerapan pendekatan “gerakan” nanti saat resmi memimpin Jakarta.
Saya khawatir Anies sebenarnya pura-pura tidak paham esensi pendekatan “pelayanan”. Sejatinya itu adalah fungsi utama birokrasi pemerintah menurut kaum Weberian, yaitu melayani kepentingan publik tanpa pandang bulu sesuai perintah konstitusi. Kepentingan publik adalah peningkatan kesejahteraan yang berkeadilan. Maka di situ pemerintah hadir melayani, atau teknisnya memfasilitasi, agar rakyat dapat mencapai peningkatan kesejahteraannya secara efisien dan efektif.
Kelemahan dasar pendekatan “pelayanan” ini adalah fakta bahwa birokrasi dan birokrat juga merupakan entitas yang memiliki kepentingan sendiri. Maka terdapat risiko konflik kepentingan yang tampil dalam ragam bentuk simpangan kolusi, korupsi, dan nepotisme. Itu sebabnya pendekatan ini mempersyaratkan seorang pimpinan yang bersih, jujur, teguh, dan keras.
Anies tak menyebut kelemahan tadi sebagai alasan untuk beralih ke pendekatan “gerakan”. Apakah mungkin karena dia sadar tak memenuhi kualifikasi pimpinan yang bersih, jujur, teguh, dan keras? Entahlah.