Manusia berencana, Tuhan menentukan. Kalimat ini bukan penghiburan. Ia mengungkap kenyataan, sebagaimana adanya.
Pengalaman Poltak sekurangnya bisa menjadi cermin. Semula bercita-cita menjadi seorang pastor. Lantas, masuklah dia ke Seminari Menengah Pematang Siantar, sebuah sekolah calon pastor di "Sumatera Timur".
Tapi nyatanya, sekarang, dia jadi apa? Cuma jadi awam, dengan predikat peneliti sosial, yang dilekatkan padanya karena kesukaannya blusukan ngorek-ngorek data ke tengah masyarakat.
Poltak masih ingat, pada akhir tahun ketiga menjalani pendidikan setingkat SMP di Seminari, dia dipanggil menghadap Pastor Direktur di ruang kerjanya.
"Begini, Nak," kata Pastor Direktur dengan lembut, "kami yakin Nak Poltak akan lebih berbahagia di luar Seminari. Kalau kami pertahankan di sini, itu artinya kami merampas hak Nak Poltak untuk mendapatkan kebahagiaan."
Dalam satu kata, Pastor Direktur mau mengatakan, "Keluar!" Maka menangislah Poltak karena gagal meraih cita-citanya menjadi pastor.
"Aku sudah mendengar panggilanMu ya Tuhanku, tapi Engkau tak memilih aku menjadi hambaMu," bisik Poltak dalam hati, berusaha menerima kenyataan.
"Aku terpanggil, tapi tak terpilih," dalih Poltak beberapa tahun kemudian, ketika dalam sebuah rekoleksi mahasiswa di Yogyakarta, pastor pembimbing bertanya mengapa Poltak gagal jadi pastor.
"Sebenarnya apa yang membuat kamu dulu tertarik untuk menjadi seorang pastor? Pastor pembimbing mencoba mendalami masalahnya.
"Oh, dulu waktu kecil di kampung, setiap kali Pastor Paroki datang berkunjung, beliau selalu dikerubuti gadis-gadis dan ibu-ibu sekampung. Aku pikir, wah, enak sekali jadi pastor kalau begitu. Aku sangat iri, aku ingin seperti itu, maka aku putuskan masuk sekolah pastor." Poltak menjelaskan motifnya menjadi pastor.
"Poltaaaak ...," kata pastor pembimbing dengan lembut, "kalau tujuanmu cuma agar dikerubuti gadis-gadis dan ibu-ibu, kamu tak perlu susah-susah jadi pastor, cukup menjadi tukang sayur keliling saja."