Idiologi itu penting, sekurangnya di saat-saat genting.Terlepas apakah kita penganut fanatik atau sekadar pengagum dari luar.
Pengalaman Fransadalah buktinya.Kejadiannya tahun 1989 di Salatiga, Jawa Tengah. Waktu itu ia masih berstatus mahasiswa.
Pada suatu malam sekitar pukul 23.00 WIB, naik sepeda, Frans dalam perjalanan pulang dari rumah temannya di belahan selatan kota.Franstinggal di Blotongan, agak di luar kota di sebelah barat laut.
Untuk memperpendek jarak tempuh, dari Jalan Sudirman di tengah kota Frans belok kiri masuk Jalan Pemotongan lurus ke Jalan Kartini, untuk selanjutnya nanti belok kanan ke Kauman, lalu belok kiri masuk Jalan Diponegoro untuk kemudian lurus saja ke arah Blotongan (arah Semarang).
Tak dinyana, di kegelapan Jalan Kartini, tiba-tiba saja seorang laki-laki melompat dengan gaya pendekar mabuk dari balik pohon mahoni di trotoar, dan langsung menghadang Frans.
“Minta uangnya, Mas!” hardik laki-laki usia 20-an itu, pelan tapi mengancam, karena menghunus sesuatu semacam benda runcing di tangan kanannya.Bau alkohol meruap dari mulutnya merasuki dua lubang hidung pesek Frans. Ya, memang mabuk dia.
“Ma … maaf, Mas.A… akugak punya uang.Lihat, nih,” jawab Frans tergagap-gagap, ketakutan, sambil membeliakkan dompetnya lebar-lebar.Memang tak ada uangnya.Isinya hanya KTP, KTM, dan bon fotokopian.
Laki-laki penodong itu menjadi gusar.Lalu matanya beralih ke sepeda yang ditunggangi Frans.
“Ya sudah.Berikan sepedanya!” bentak penodong mabuk itu sambil berusaha merampas sepeda dari tangan Frans.
“Waduh, jangan, Mas. Ini bukan punyaku.Ini… ini sepeda Pak Arief Budiman.Aku dipinjami untuk kendaraan kuliah.”
Frans mendadak ngotot mempertahankan sepedanya. Dan ia tidak berbohong.Sepeda itu memang dipinjamkan Dr. Arief Budiman, waktu itu dosen UKSW Salatiga, kepadanya.
“Hah!? Punya Pak Arief Budiman? Doktor sosialisme itu?” Laki-laki penodong itu terperanjat, melepas tangannya dari sepeda Frans.
“Benar.Ini punya Pak Arief, Doktor Sosialisme itu,” tegas Frans yang mendadak ikut terperanjat lantaran penodong mabuk itu terperanjat.
“Wah, aku pengagum beliau. Aku kagum pada sosialisme,” kata penodong itu dengan nada kagum.
“Sama, Mas.Aku juga pengagumnya.Aku juga kagum sosialisme,” sahut Frans mulai mencari peluang dalam kegentingan, kesempatan dalam kesempitan.
“Wah, kita teman kalau begitu, Mas,” balas penodong setengah berteriak dengan nada girang.
“Iya, Mas, kita teman.Permisi numpang lewat ya, Mas?” Frans langsung masuk menyambar kesempatan.
“Oh, ya, monggo, monggo, Mas,” penodong berhaluan sosialisme itu mempersilahkan Frans dengan ramah.
Tak perlu menunggu lagi, secepat kilat Frans memacu sepedanya sekuat tenaga.Terbang kabur.Khawatir penodong mabuk itu mendadakberubah haluan merasa dirinya penganut kapitalisme.(*)
*)Selamat Ulang Tahun ke-74 (3 Januari 2015) untuk Pak Arief Budiman, guru dan teman yang saya hormati dan kepadanya saya berutang budi.
#Moral revolusi mental-nya: “Di tengah perbedaan kepentingan yang membahayakan, temukanlah satu persamaan kecil yang dapat menyelamatkan semua pihak.”
Komporsiana.com
Sharing-Laughing-Changing
Catatan:Humor ini merupakan tulis-ulang dan terbit-ulang dari humor berjudul “Diselamatkan Sosialisme di Salatiga” yang dihapus Admin dari profil akun saya karena dikira terjadi double posting.Bagi rekan-rekan yang sudah sempat membaca dan mengomentari versi awal, silahkan tertawa dan berkomentar lagi, hehehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H