Bolehkah seorang guru memukul muridnya? Pertanyaan ini pasti memancing debat pro-kontra tanpa ujung.
Karena itu, sebelum terlanjur berpolemik, baiklah jika melihat pada pengalaman Poltak tahun 1969, ketika ia menginjak kelas 3 SD di Porsea, Toba.
Waktu itu di sekolahnya hanya ada satu orang guru untuk satu kelas, dan hanya ada satu kelas untuk tiap jenjang.Jadi hanya ada enam orang guru yang mengajar semua mata pelajaran di sekolahnya, tiap guru memegang satu kelas (1-6), ditambah seorang Kepala Sekolah.Oh, ya, ditambah seorang penatua Gereja setempat yang mengajar agama di semua kelas, dengan membacakan kisah-kisah dari Kitab Suci Perjanjian Lama.
Hal yang sangat lazim waktu itu jika seorang guru memukul seorang anak yang melakukan kesalahan dalam proses belajar-mengajar, atau anak yang berperilaku kelewat nakal.Hukuman pukul itu macam-macam bentuknya.Mulai dari sabetan sebilah lidi di betis (meninggalkan gurat merah, pasti), sabetan penggaris kayu besar di telapak atau punggung tangan, tamparan di belakang kepala (bonusnya “kunang-kunang”), sampai tonjokan tinju ala kuntaw di kening kiri dan tau kanan (yang bisa menumbuhkan tonjolan tanduk kecil).
Anehnya, atau mungkin normalnya, tidak ada orangtua murid yang berkeberatan kalau anaknya dipukul guru.“Makanya jangan bodoh kau”; “Makanya jangan nakal kau”; “Baguslah, pelajaran untuk kau.”Begitu antara lain tanggapan orangtua jika anaknya lapor baru dipukul guru.Malahan ada orangtua yang berpesan pada guru anaknya, “Pak Guru, tolong hajar anankku ini.Dia nakal dan malas sekali belajar.Tak sanggup lagi aku mengajarinya.” (Nah, lo, guru diberi wewenang memukul anak.)
Tujuan pukulan guru itu mulia, bukan untuk menyakiti murid (karena sudah pasti sakitlah), tapi untuk mendisiplinkan perilaku belajar dan bermasyarakat.
“Besok kita ada pelajaran prakarya.Masing-masing harus bawa tongkat kayu untuk bahannya,”Pak Guru Oskar, guru Poltak di kelas 3 SD, mengingatkan murid-murid.
Maka, besok pagi harinya, dengan penuh semangat para murid datang ke sekolah membawa tongkat kayu masing-masing.Poltak tergolong paling bersemangat.Ia membawa tongkat dari jenis kayu terbaik, meranti yang keras.
“Anak-anak, sandarkan tongkat masing-masing di samping bangku,” perintah Pak Guru Oskar.“Sekarang kita pelajaran berhitung dulu,” lanjutnya.Poltak langsung mengkeret.Pelajaran Berhitung adalah monster terseram baginya.
“Coba, tigabelas dikali tujuhbelas hasilnya berapa?”Sebagian terbesar murid tunjuk jari, dan sudah pasti Poltak tidak termasuk dalam bilangan itu.Poltak semakin mengkeret, menunduk, keringat dingin, takut ditanya jawabannya yang dia tak tahu berapa.Pak Guru Oskar ini aneh pula, karena lebih suka menyuruh murid yang tak tunjuk jari untuk menjawab pertanyaan.Murid yang tunjuk jari malahan sering “selamat” dari suruhan.
“Poltak, berapa hasilnya?” Nah, betulkan?Pak Guru Oskar menyuruh murid yang tak tunjuk jari untuk menjawab.Poltak bagai disambar petir saja layaknya.Diam seribu bahasa, tak tahu jawabannya.
“Telapak tangan ke atas meja!” perintah Pak Guru Oskar, lalu “Pletak!”, tongkat kayu meranti maha-keras yang dibawa Poltak tadi “mendarat darurat” di telapak tangannya, keras dan mantap.Rasa sakitnya sampai ke gendang telinga.
Begitulah.Jam sekolah pada hari itu, dan hari-hari berikutnya, selalu berlangsung dengan sejumlah peristiwa pukulan tongkat kayu milik sendiri pada telapak tangan murid-murid yang tak bisa menjawab pertanyaan Pak Guru Oskar.Di antara para murid, Poltak-lah yang paling sering mendapat pukulan dengan tongkat kayu kerasnya, terutama saat pelajaran Berhitung.
Sekali peristiwa, karena belajar dari lingkungan kelas, Poltak mencoba ikut tunjuk jari ketika Pak Guru Oskar mengajukan satu pertanyaan Ilmu Bumi, “Sebutkan hasil-hasil bumi utama dari Kabupaten Asahan!”Poltak tidak tahu jawabannya.Tapi dia tahu biasanya murid yang tunjuk jari “selamat” dari suruhan menjawab.
“Poltak! Kau tahu jawabannya?Coba sebutkan!” perintah Pak Guru Oskar. Cilaka tigabelas, mata guru ternyata tak bisa ditipu. Sudah terang Poltak jadi pucat-pasi, tidak tahu harus menjawab apa.Maunya selamat, malahan kena batunya.
“Telapak tangan ke atas meja!” teriak Pak Guru Oskar, lalu “Pletak! Pletak!”, bunyi tongkat kayu beradu dengan telapak tangan dua kali.“Pletak” pertama karena tak mampu menjawab, “pletak” kedua karena nekad berbohong.
“Gurumu memang keras, Cucuku.Tapi dia sungguh bijak.Itu cara gurumu mendorong kau untuk belajar lebih keras lagi.Itu satu-satunya cara menghindari pukulan gurumu,” nasihat Kakek Poltak, ketika Poltak mengadukan “derita”-nya kepada kakeknya pada suatu hari.
Patuh pada nasihat kakeknya, Poltak lalu mulai meningkatkan disiplin belajar.Jam bermain dikurangi, jam mengulang pelajaran ditambah.Dan ajaib, dari minggu ke minggu Poltak semakin menemukan kenyataan tidak ada mata pelajaran yang terlalu sulit.Dan lebih ajaib lagi, dari minggu ke minggu frekuensi pukulan tongkat kayu di telapak tangannya semakin berkurang, sampai akhirnya tongkat itu benar-benar tak berguna lagi.(*)
#Moral revolusi mental-nya: “Agar bisa melangkah lebih maju, sediakanlah cambuk bagi diri sendiri.”
Komporsiana.com
Sharing-Laughing-Changing
Catatan Analogi dengan KPK:
KPK itu ibarat Poltak "kecil" (anak kemarin sore) yang sudah berkali-kali digebugi Pak "guru" Polisi, dan juga Pak "guru" DPR, dan "guru-guru" lain yang gemar "main pukul". Tapi, yakinlah, ini semacam gemblengan di Kawah Candradimuka untuk KPK. Pada waktunya, setelah beroleh bilur dan hikmah dari pukulan demi pukulan, lama-lama "guru-guru" yang gemar "main pukul" itu tak akan berguna lagi, karena KPK sudah berhasil menutup "ruang pukul" pada dirinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H