Berusaha masuk ke dalam budaya etnis lain adalah upaya terpuji.Asalkan dilakukan secara sadar melalui proses bertahap, sedikit demi sedikit, sehingga dapat terhindar dari kesalahan fatal.Tidak dilakukan secara instan, sehingga malahan menjadi konyol.
Konyol akibat perilaku instan itu pernah menimpa Bu Poltak, isteri Pak Poltak, insiniur lulusan UGM yang sekarang menjadi dosen di Jawa.
Sekadar informasi Bu Poltak adalah putri Solo tulen yang sudah pasti tak paham bahasa dan apalagi adat Batak.Poltak memang menikah dengan putri Solo karena bercita-cita menghasilkan anak-anak berkualifikasi “pejabat”, alias “Peranakan Jawa-Batak”.
Baru sebulan usia pernikahan, Poltak dan isterinya terpaksa harus pulang kampung ke Porsea, karena kakek Si Poltak meninggal dunia.Sebagai cucu laki-laki pertama dari anak sulung si kakek, ttentu tak ada pilihan bagi Poltak kecuali harus pulang kampung.
Poltak dan isterinya pulang kampung serba menddadak, tanpa banyak persiapan, apalagi pengarahan pada isterinya soal adat kematian dalam masyarakat Batak.
Tiba di rumah kakeknya di Porsea, suasana kesedihan mendalam masih memenuhi seluruh rumah sampai pekarangannya.Para perempuan, yaitu cucu, anak, dan kerabat kakek Poltak, duduk mengelilingi jenazah Sang Kakek sambil meratap beramai-ramai.Para perempuan itu menyampaikan kata-kata penyesalan, ketak-relaan, kesedihan, sampai akhirnya kerelaan melepas Sang Kakek untu kembali kepada Sang Khalik dalam bentuk andung, ratapan bersyair, bukan sekadar menggerung-gerung, meraung-raung, atau menjerit-jerit histeris.
Bu Poltak juga ikut bergabung duduk bersama para perempuan yang sedang meratap di sekeliling jenazah Sang Kakek.Tadinya perasaan sedih Bu Poltak standar-standar saja.Tapi selang berapa waktu berada di antara sesama perempuan yang meratap sedih, urat sedihnya menjadi terpicu juga hingga mencapai titik tertinggi, sehingga hatinya tak tertahankan lagi untuk ikut mangandung, meratap seperti perempuan-perempuan lainnya.
“Piye iki carane, aku blas ra iso boso Batak,” Bu Poltak yang benar-benar “buta Batak” itu membathin.Syukurlah ide selalu datang di saat terjepit.Di puncak kesedihannya, tiba-tiba Bu Poltak teringat penggalan syair sebuah lagu andung Batak yang beberapa kali didengarnya, dan sontak meratap keras:
“Buteeeeeeet …. Di pangungsian do amangmu aleeeeee buteeeeeeeet ………”Kontan semua orang terdiam, melongo, tak tahu harus bereaksi bagaimana.
Si Poltak panik habis dan buru-buru menarik tangan isterinya untuk mengamankan diri ke dalam kamar.(*)
#Moral revolusi mental-nya: “Niat baik dan upaya keras tanpa didasari modal keahlian memadai dapat berakhir konyol.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H