Menjadi orang terhormat, ternyata punya celakanya sendiri.Ini dialami Poltak (samaran), seorang peneliti muda dan pemula, ketika bersama Asep (samaran) melakukan penelitian di Desa Cimalakama (samaran) di Kabupaten Sumedang, Jawa Baratpada akhir 1980-an.
Tampilan Poltak ini khas warga terhormat Batak Jakarta.Selalu rapi-jali dengan kemeja masuk dalam celana, ikat pinggang hitam, rambut klimis dengan sisiran belah samping, sepatu kulit mokasin, bolpen di saku baju, dan map kulit sintetik di tangan.Sepintas, tampilannya mirip Kaur Pemerintahan dari Kantor Bupati, atau sekurangnya Sekretaris Camat.
Sebenarnya Asep sudah menasehati Poltak agar mengubah penampilannya menyerupai gaya berpakaian orang desa.Maksudnya agar orang desa, subyek penelitian, tidak merasa berjarak dengannya.Takutnya, warga desa akan memandang Poltak sebagai orang terhormat, lalu wawancara akan menjadi normatifdengan jawaban-jawaban “asal bapak senang” dari responden.
“Bah, apa pula salahnya menjadi orang terhormat?” sanggah Poltak.
“Ya, sudah kalau begitu,” kata Asep, enggan berdebat, karena dia tahu memang sedikit “gila hormat”.
Singkat cerita, pada hari pertama penelitian, Poltak harus mewawancarai 8 orang responden di rumah masing-masing.Dasarnya Poltak seorang peneliti pemula yang sedang garang-garangnya, seharian berkeliaran dari rumah ke rumah, ia berhasil mencapai target yang sebenarnya kurang masuk akal itu.
Rupanya, tampilan orang terhormat itu telah menyebabkan para responden menerima Poltak dengan senang hati dalam rumah mereka. Siapa pula orang desa yang tidak senang mendapat tamu orang terhormat dari kota?
Tapi itulah.Dampak kehormatan itu ternyata tak tertanggungkan oleh Poltak.Malam harinya, sampai subuh keesokan harinya, ia tak bisa memicingkan mata barang sekejap pun.
“Hei, kau kenapa Poltak,” tegur Asep yang sudah bersiap-siap ambil wudhu untuk shalat subuh.
“Tak bisa tidur aku semalaman,” jawab Poltak.
“Kenapa?Apa kemarin kau ketemu kembang desa? Mikirin dia semalaman sampe gak bisa tidur begitu?” Asep bercanda.
“Bukan begitu,” Poltak sedikut gusar, “tapi gara-gara kopi.Kemarin itu, aku masuk delapan rumah dan di tiap rumah disuguhi kopi.”
“Memangnya kau minum habis semua?” Asep menyelidik sambil menahan tawa.
“Ya iyalah.Orang Batak itu, kalau bertamu, harus menghabiskan minuman yang disajikan tuan rumah.Itu tandanya kita orang terhormat yang menghormati tuan rumah,” Poltak menjelaskan.
“Ha ha ha.Kau makanlah sana hormatmu itu,” Asep terbahak di subuh hari. “Kau tahu Poltak, “ lanjutnya, “orang Sunda itu, sebagai tanda hormat pada orang terhormat yang bertamu ke rumahnya, selalu akan menyediakan kopi.Nah, kalau orang kere seperti aku, cukuplah air putih, atau paling tinggi teh tawar,” jelas Asep.
“Bah, mati aku, begitu rupanya.Kapoklah aku jadi orang terhormat ,” kata Poltak menyesali diri.
“Bukan begitu,” tukas Asep, “kau terlalu rakus. Itu soalnya,” kata Asep terbahak sambil melangkah ke sumur untuk mengambil wudhu.(*)
#Moral revolusi mental-nya:“Terhormat dan menghormati itu perlu, tapi terukur porsinya, agar tak berbuah celaka.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H