Humor yang berangkat dari kenyataan dan bisa jadi kenyataan.Itulah yang saya maksud dengan humor empiris.
Apakah ada humor yang tidak berangkat dari kenyataan?Ada.Itu saya sebut humor rasionalis.Humor yang berangkat dari olah pikir semata, kendati mungkin juga jadi kenyataan.
Pembedaan aliran humor, antara empiris dan rasionalis,itu semata pemikiran saya pribadi.Karena itu, sangat baikjikaada rekan sesama penulis humor yang tak setuju, lalu mengajukan klasifikasi mashab yang lebih tepat.
Setia pada pikiran sendiri, di sini saya hanya ingin membicarakan humor empiris. Bukan karena humor rasionalis tak lucu.Tapi semata karena saya sudah menggolongkan diri sendiri ke dalam aliran humor empiris.
Lagi pula lebih elok kiranya jika kita bicara tentang aliran kita sendiri.Biarlah rekan lain yang membahas humor aliran rasionalis, kalau ada yang menggolongkan diri ke aliran itu.Tambahan lagi,walaupun pembagian aliran ini ide sendiri, sejujurnya saya tidak paham benar ikhwal aliran rasionalis itu.
Lantas seperti apa persisnya humor empiris itu.Saya akan menjelaskannya dengan pengalaman kreatif pribadi.Pengalaman kreatif dalam proses penulisan serial “Humor Revolusi Mental” (HRM) untuk Kompasiana.
Berangkat Dari Kenyataan Empiris
Semua nomor HRM itu berangkat dari kenyataan.Tepatnya, didasarkan pada kenyataan atau fakta empiris.
Tapi, walau berdasar kenyataan empiris, tak berarti humor-humor itu apa adanya sesuai kenyataan asli.Teks-teks HRMadalah kenyataan-kenyataan yang telah diplintir sedemikian rupa, sehingga mengandung sedikit banyak nilai kelucuan.Atau, jika bukan kelucuan, setidaknya semacam keanehan atau ketak-laziman yang memancing senyum atau tawa.
Diplintir berarti kenyataan empiris itu diolah kembali.Caranya macam-macam.Misalnya membelokkan jalan cerita, mengganti konteks, mengganti pelaku, atau mengawinkan satu fakta dengan fakta lain.
Sembarang nomor dari HRM tentang pengalaman Pak Frans di Desa Fausambi, Ende Flores, NTT bisa diambil sebagai contoh.Semua nomor humor Ende Flores itu benar-benar didasarkan pada kenyataan.Pak Frans itu nyata ada dan masih hidup. Pak Piet juga ada, tapi sudah lama meninggal dunia.Desa Fausambi itu juga benar-benar ada.Bahwa semua tokoh dan tempat menggunakan nama samara, itu semata demi memenuhi pertimbangan etika.
Ambil “HRM #027: Mendadak Pastor di Flores” sebagai contoh pertama.Humor ini didasarkan pada dua fakta empiris.Pertama, pengalaman Pak Frans sendiri “dituduh” sebagai seorang pastor oleh tetangga duduknya dalam perjalanan menumpang bus Maumere-Ende, gara-gara mengenakan sepatu sandal, sebagaimana lazimnya para pastor di Flores.Kedua, pengalaman masa kecil teman Pak Frans, orang Flores, yang sangat takut kepada pastor, sehingga sering diancam orangtuanya akan diadukan kepada pastor kalau tak mau pergi sekolah.Dua fakta empiris itu kemudian digabungkan dengan mengambil Fausambi sebagai latar tempat kejadian, dan mengambil warga setempat sebagai tokoh bapak dan anak dalamcerita. Maka jadilah cerita humor yang bersahaja itu.
Contoh kedua adalah “HRM #008: Akibat Mesra Dengan Pisang”.Humor ini benar-benar berdasarkan pada pengalaman Pak Frans dan Pak Piet menumpang bus Damri dari Ende menuju Wolowaru.Bus itu melewati jalan desa yang berlubang-lubang, berbelok-belok, turun-naik, menyisir tepi jurang, layaknya jalan panglong. Saat berhenti menurunkan penumpang,Pak Piet membeli sesisir pisang matang di warung, untuk bekal di jalan.Dalam perjalanan, Pak Frans dan Pak Piet makan pisang.Pak Piet lalu menawari Pak Supir Damri untuk makan pisang juga dan mau.Masalahnya, terlalu riskan bagi supir untuk menyupir sambil makan pisang pada kondisi jalan yang berbahaya.Maka, Pak Piet berinisiatif mengupas sebuah pisang lalu menyuapkannya berkali-kali ke mulut Pak Supir sampai habis.Dalam proses kreatif penulisan, saya tinggal mengganti Pak Frans dan Pak Piet sebagai pasutri Ama-Ina Ale.Lalu sedikit berimajinasi tentang Pak Ale yang cemburu menyaksikan Ina Ale menyuapkan pisang ke mulut Pak Supir.Maka jadilah cerita humor yang sederhana itu.
Dua contoh di atas cukuplah untuk menjelaskan apa dan bagaimana proses penulisan humor empiris yang saya maksud.Nomor-nomor lainnya dalam seri HRM itu, baik dengan tokoh Pak Frans maupun tokoh-tokoh lainnya seperti Si Poltak dan Pak Bram,semuanya memiliki basis empiris sebagai dasar penulisannya.Dan Si Poltak serta Pak Bram itu adalah tokoh-tokoh nyata yang masih hidup sampai sekarang.
Bisa Menjadi Kenyataan Empiris
Karena berangkat dari kenyataan empiris, maka sangat mungkin kisah-kisah dalam HRM bisa dialami oleh para pembaca sendiri sekali waktu di alam nyata atau empiris. Tentu saja tidak harus persis seperti kisah dalam humor.Tapi setidaknya mungkin menimbulkan semacam perasaan déjà vu, “Sepertinya aku pernah dalam situasi itu.”
Sebagai contoh adalah pengalaman Kompasioner Ibu Enny Soepardjono.Ketika mengomentari “HRM #027: Mendadak Pastor di Flores”, Ibu Enny menulis: ”… kalau saya pernah disangka biarawati, saya iyakan saja, daripada ngotot, karena yang mengatakan hanya melihat saya bersama para biarawati…salam.”Seperti Ibu Enny, saya kira, masing-masing kita pernah, atau akan terjadi suatu waktu, disangka sebagai seseorang dengan profesi atau status sosial tertentu, hanya karena atribut yang kita gunakan.Para penjahat cukup pintar memanfaatkan kecenderungan “salah anggap” semacam itu untuk melakukan “tipuan kemasan”, misalnya menyamar sebagai polisi, tentara, satpam, petugas PLN, atau apa saja.
Contoh lain adalah kesalahan dalam penyebutan nama, seperti pada “HRM #041: Felix Hilang di Sumedang”.Masing-masing kita mungkin pernah mengalami salah sebut nama.Entah kita subyek atau obyeknya.Hanya saja, kasus Felix (bukan saya, kebetulan saja namanya sama) itu memang sedikit fatal, karena namanya berubah dari Felix menjadi Pilis, sehingga penambahan kata sandang “Si” di depannya menimbulkan konotasi “tak sehat”.
Kasus “denda yang tak masuk akal” juga mungkin pernah menimpa pembaca, seperti pengalaman Bram dalam “HRM #034: Mati Seekor Denda Sekandang”.Bram harus membayar ganti rugi seharga sembilan ekor ayam, karena menabrak mati seekor ayam betina yang sedang mengerami delapan butir telurnya.Menanggapi humor ini, Kompasioner Nino Histiraludinmenulis: “Itu baru ayam pak…. Di Suku Pedalaman Kalimantan, jika menabrak babi yg lagi menyusui 12 ekor anak, tinggal ngitung aja tuh.” Saya kira, rekan Nino menulis seperti itu pastilah berdasar fakta atau kejadian empiris.
Mungkin ada yang bertanya, apa perlunya saya menuliskan ini semua.Sederhana saja.Ini cara saya mempertanggungjawabkan humor-humor yang telah saya tulis dan sajikan kepada rekan-rekanKompasioner pembaca seri HRM yang, saya tahu persis, jumlahnya tidaklah banyak.Tambahan, siapa tahu tulisan ini bisa menginspirasi para pembaca HRM untuk lebih murah hati tertawa setelah membaca humor-humor saya, sekalipun mungkin tidak jelas benar di mana letak kelucuannya. Salam gelak.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H