Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gejala "Pinjam Sarang Kuasa", Postscriptum Kasus Sonya

25 April 2016   10:31 Diperbarui: 25 April 2016   16:57 1774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Irjen Pol Arman Depari dan Sonya Depari. (Tribunnews.com)Kasus Sonya Depari  menakut-nakuti polisi dengan mencatut nama seorang Inspektur Jenderal Polisi di Medan menjadi viral baru-baru ini.  Padahal, itu hanya sebuah peristiwa kecil dari  sebuah gejala besar bernama “pinjam sarang kuasa” dalam masyarakat kita.

“Sarang kuasa”, secara sosiologis, adalah status sosial dengan muatan kekuasaan besar dalam arti superioritas. Dengan atribut kekuasaannya, pemilik status sosial itu berwewenang membuat orang lain yang minim kuasa tunduk padanya. Sebaliknya, orang yang minim kuasa secara natural tunduk pada pemilik “sarang kuasa”.

Ketundukan pada pemilik “sarang kuasa” bisa bersifat legal ataupun illegal. Ketundukan Ipda Polisi kepada Irjen Polisi adalah legal, kendati bukan atasan-bawahan langsung.  Ketundukan seorang pejalan kaki kepada preman yang memerasnya adalah illegal karena tak ada dasar hukumnya.

Masyakat kita sadar benar akan keampuhan “sarang kuasa” sebagai alat mencapai tujuan. Sekalipun misalnya tujuan itu menyimpang dari seharusnya. Ini yang mendorong meluasnya gejala “pinjam sarang kuasa” dalam masyarakat.

Dalam masyarakat Batak, sebagai contoh, ada istilah yang maknanya setara “pinjam sarang kuasa”, yaitu anggar jago. Artinya, kurang lebih, mencatut nama seseorang yang dianggap “jago”, punya “kuasa besar” dalam arti fisik ataupun non-fisik, untuk menundukkan seteru.

“Jago” yang dicatut biasanya adalah orang yang  punya hubungan dekat. Tapi bisa juga tak punya hubungan apa pun. Misalnya, hanya karena semarga, seperti pada kasus Sonya itu.

Banyak orang mencela Sonya atas ulahnya itu. Tapi, sadarkah para pencela itu bahwa mereka mungkin adalah pelaku “pinjam sarang kuasa” juga? Bahkan mungkin sudah melakukannya sejak usia kanak-kanak?  Misalnya waktu masa TK mencatut sosok “Ibu” atau “Ayah” saat diancam teman? Atau, saat sebagai seorang kakak berusaha menundukkan adik yang nakal dengan ancaman, “Awas, nanti aku bilangin Ibu, lho!” Atau ketika menjadi ketua kelas bilang, “Awas, nanti aku laporin guru!” untuk menertibkan kelas yang gaduh.

Jelas, gejala “pinjam sarang kuasa” bukanlah sesuatu yang baru. Itu adalah hasil sosialisasi dalam keluarga dan masyarakat. Kasus Sonya itu hanya cuplikan kecil dari gejala besar, hasil sosialisasi berkelanjutan dalam masyarakat kita. Gejala “pinjam sarang kuasa” itu adalah masalah besar dan kronis. Umum dikenal sebagai gejala “beking-bekingan”, dia semacam “kanker sosial” yang tanpa disadari sedang menggerogoti nilai-nilai integritas dan profesionalitas dalam masyarakat kita. 

Gejala itu dengan mudah kini bisa diamati dalam dunia politik dan bisnis kita, dari level lokal sampai nasional. Di dunia politik, sebagai contoh, seorang anggota DPR misalnya mencatut nama presiden untuk menekan seorangmMenteri agar memperoleh keuntungan bisnis. Seorang anggota partai mengaku telah mendapat restu dari ketua partai, atau bahkan dari presiden,  untuk maju menjadi calon kepala daerah atau ketua partai.  

Contoh lainnya, seorang pejabat/politisi “konsultasi” dulu dengan presiden/ketua partai sebelum diperiksa sebagai saksi kasus korupsi. Seorang warga negara biasa membawa surat pejabat kementerian agar difasilitasi kantor kedutaan saat berlibur ke luar negeri. Di dunia bisnis, seorang pengusaha misalnya menemui presiden sebelum menteri (atau menteri sebelum dirjen/deputi, atau dirjen/deputi sebelum direktur/asdep), dengan tujuan memuluskan negosiasi bisnis dengan pemerintah. 

Mungkin saja pengusaha itu sebenarnya hanya sekadar ikut dalam sebuah pertemuan bersama asosiasinya.  Tapi dia  lalu mengaku sudah bertemu secara personal, dengan maksud “menekan” pejabat  bawahan di hadapannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun